Monday 5 March 2007

Nota Pastoral Tahun Keluarga 2007

ARAH DASAR UMAT ALLAH

KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG 2006-2010

Umat Allah Keuskupan Agung Semarang dalam bimbingan Roh Kudus berupaya semakin menjadi persekutuan paguyuban-paguyuban murid-murid Yesus Kristus yang mewujudkan Kerajaan Allah yang memerdekakan (bdk. Lukas 4: 18-19). Mewujud-kan Kerajaan Allah berarti bersahabat dengan Allah, mengangkat martabat pribadi manusia, dan melestari-kan keutuhan ciptaan.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang sedang berjuang mengatasi korupsi, kekerasan, dan kerusak-an lingkungan hidup, umat Allah Keuskupan Agung Semarang terlibat secara aktif membangun habitus baru berdasarkan semangat Injil (bdk. Mat 5-7). Habitus baru dibangun bersama-sama: dalam keluarga dengan menjadikannya basis hidup beriman; dalam diri anak, remaja, dan kaum muda dengan melibatkan mereka untuk pengembangan umat; dalam diri yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir dengan memberdayakannya.

Untuk mendukung upaya tersebut, umat Allah Keuskupan Agung Semarang mengembangkan pola penggembalaan yang mencerdaskan umat beriman, melibatkan perempuan dan laki-laki, memberdayakan paguyuban-paguyuban pengharapan, memajukan kerjasama dengan semua yang berkehendak baik, serta melestarikan keutuhan ciptaan.

Umat Allah Keuskupan Agung Semarang dengan tulus hati bertekad bulat melaksanakan upaya tersebut, dan mempercayakan diri pada penyeleng-garaan ilahi dengan setia dan rendah hati seturut teladan Maria, hamba Allah dan bunda Gereja.

Allah yang memulai pekerjaan baik di antara kita akan menyelesaikannya (bdk. Flp 1:6).

Prakata

MENJADIKAN KELUARGA

BASIS HIDUP BERIMAN

Kehadiran Yesus pada pesta perkawinan di Kana yang di Galilea (lih. Yo 2:1-11) merupakan kehadiran penuh kasih yang mengubah hati tawar - karena anggur habis - menjadi hati riang gembira karena penuh kasih. Kehadiran Yesus yang penuh kasih itu pulalah yang mengubah air tawar menjadi anggur manis. Kehadiran bunda Maria dan murid-murid Yesus melengkapi kegembiraan keluarga tersebut. Dalam keluargalah tanda tersebut dibuat oleh Yesus sebagai yang pertama dari tanda-tandanya, agar keluarga menjadi basis hidup beriman.

Kita memahami benar bahwa pengalaman keluarga akan cinta kasih yang berasal dari Allah merupakan ruang untuk mengembangkan spiritualitas keluarga, yaitu pilihan hidup untuk memenuhi panggilan kepada kekudusan, menurut pola keluarga kudus di Nazaret. Di dalamnya Kristus menjadi pusat hidup. Spiritualitas keluarga yang berpusat pada Kristus hendaknya dikuatkan terus menerus dalam perayaan Sabda dan Ekaristi, serta doa sehari-hari. Doa yang diajarkan Kristus kepada kita, yang dikenal dengan Bapa Kami (Mat 6:5–15//Luk 11:2–4) memuat pokok-pokok spiritualitas hidup berkeluarga. Orangtua yang berdoa menjadi guru doa dan sekaligus saksi nyata bagi anak-anaknya. Spiritualitas keluarga menjadi basis hidup beriman bagi suami isteri, bagi relasi orangtua terhadap anak-anak, dan bagi anak-anak sendiri (lih. Nota Pastoral tentang Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang 20062010, hal. 30)

Untuk Tahun 2007 Tahun Keluarga diterbitkan Nota Patoral yang berjudul “MENJADIKAN KELUARGA BASIS HIDUP BERIMAN”. Kami berharap agar Nota Pastoral tersebut dijadikan titik tolak penyusunan kebijakan-kebijakan strategis dan program-program konkrit untuk mendampingi keluarga-keluarga, agar keluarga-keluarga kristiani semakin mengalami kasih Kristus. Dengan demikianlah – sesuai dengan harapan Gereja – keluarga-keluarga kristiani menjadi basis hidup beriman, dan menjadi semakin mampu menghadapi tantangan-tantangan berat pada zaman kita dalam terang iman.

Selamat Hari Raya Natal 2006 dan Tahun Baru 2007. Semoga Tahun Keluarga 2007 menjadi kesempatan bagi kita untuk membangun bersama habitus baru berdasarkan semangat Injil dalam keluarga, agar keluarga sunguh-sungguh menjadi basis hidup beriman. Semoga tahun 2007 menjadi tahun penuh rahmat bagi kita semua. Berkah Dalem.

Muntilan, 18 November 2006

Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang

NOTA PASTORAL

Keuskupan Agung Semarang Tahun 2007

“MENJADIKAN KELUARGA

BASIS HIDUP BERIMAN”

PENGANTAR

Salah satu butir dari Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang Tahun 20062010 berbunyi sebagai berikut: “Dalam konteks masyarakat Indonesia yang sedang berjuang mengatasi korupsi, kekerasan, dan kerusak-an lingkungan hidup, umat Allah Keuskupan Agung Semarang terlibat secara aktif membangun habitus baru berdasarkan semangat Injil (bdk.Mat 5-7). Habitus baru dibangun bersama-sama: dalam keluarga dengan menjadikannya basis hidup beriman; dalam diri anak, remaja, dan kaum muda dengan melibatkan mereka untuk pengembangan umat; dalam diri yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir dengan memberdayakannya”.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa habitus baru antara lain dapat dibangun dalam keluarga, yakni dengan menjadikannya basis hidup beriman. Pernyataan itu didasarkan pada kesadaran bahwa habitus baru pertama-tama perlu dibangun di rumah-rumah, agar kemudian juga dapat terbangun di lingkungan-lingkungan, di wilayah-wilayah, dan di paroki-paroki.

Berdasarkan kesadaran itulah, Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang menetapkan tahun 2007 sebagai Tahun Keluarga, yang ber-langsung sejak Pesta Keluarga Kudus pada akhir tahun 2006 sampai dengan Pesta Keluarga Kudus pada akhir tahun 2007. Selama satu tahun penuh, seluruh umat Keuskupan Agung Semarang diharap memberi perhatian khusus pada keluarga-keluarga katolik, dengan menjadikan keluarga-keluarga itu basis hidup beriman.

Demi berhasilnya usaha itu, seluruh umat Keuskupan Agung Semarang hendaknya memperhatikan tiga hal penting yang diuraikan secara singkat di bawah ini, yakni:

I. Tantangan-Tantangan Aktual;

II. Harapan-Harapan Gereja; dan

III. Saran-Saran Pastoral.

I. TANTANGAN-TANTANGAN AKTUAL

Dewasa ini keluarga-keluarga katolik menghadapi banyak tantangan aktual. Sebagian besar dari tantangan-tantangan itu berasal dari masyarakat luas. Sedang sebagian yang lain berasal dari lingkungan keluarga sendiri.

A. Tantangan dari masyarakat luas

1. Tantangan dari masyarakat internasional

Tantangan yang berasal dari masyarakat inter-nasional terutama berupa kecenderungan-kecenderungan tertentu yang muncul dalam proses globalisasi. Kecenderungan-kecende-rungan tersebut antara lain tampak di bidang ekonomi, politik, dan budaya.

Di bidang ekonomi, muncullah kecenderungan global yang menyebarkan sistem ekonomi pasar bebas ke segenap penjuru bumi. Sistem ekonomi yang mengutamakan kebebasan swasta untuk berdagang dan bersaing itu dipuji dan didukung di semakin banyak tempat. Padahal sistem ekonomi tersebut jelas-jelas melebarkan kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin, antara negara kaya dan negara miskin. Selain itu, sistem ekonomi tersebut juga mendukung konsumerisme dan menyebabkan kerusakan lingkungan alam dan lingkungan hidup. Di beberapa negara miskin, sistem ekonomi pasar bebas itu bahkan juga menimbulkan kecenderungan-kecenderungan negatif lain, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Di bidang politik, muncullah kecenderungan global yang menyebarkan sistem pemerintahan gaya Barat ke segenap penjuru bumi. Beberapa negara Barat bahkan memaksakan sistem politik semacam itu kepada negara-negara yang lain. Padahal, sistem pemerintah-an semacam itu tidaklah selalu sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Pengambilan keputusan dalam masyarakat tradisional Jawa, misalnya, lebih mengutama-kan mufakat melalui musyawarah daripada pengambilan keputusan melalui pemungutan suara.

Di bidang budaya, muncullah kecenderungan global yang menyebarkan pop culture ke segenap penjuru bumi. Yang dimaksud dengan pop culture adalah budaya pop, budaya yang penampilan-luarnya cenderung “ke-Barat-Barat-an”. Meskipun budaya pop tersebut me-miliki beberapa unsur positif yang pantas di-hargai, budaya itu juga memuat beberapa unsur negatif yang perlu diwaspadai. Yang kiranya paling perlu diwaspadai adalah kecenderung-annya ke arah materialisme dan sekularisme. Kecenderungan ke arah materialisme itu jelas tidak selaras dengan budaya tradisional sebagi-an besar masyarakat kita, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kerohanian. Sementara itu kecenderungan ke arah sekularisme juga tidak selaras dengan budaya tradisional masyarakat kita, yang bersifat religius.

2. Tantangan dari masyarakat nasional

Dewasa ini masyarakat Indonesia berada dalam masa reformasi di segala bidang. Dalam proses reformasi tersebut, muncullah beberapa tantangan sosial, misalnya di bidang ekonomi, politik, dan moral.

Reformasi belum berhasil membawa perbaikan yang nyata di bidang ekonomi. Menurut data nasional, saat ini sekitar 50 juta orang Indonesia hidup dalam kemiskinan. Bangsa kita semakin tertinggal dari bangsa-bangsa yang sudah maju, antara lain karena bangsa kita cenderung mengikuti sistem ekonomi pasar bebas. Sudahlah terbukti bahwa sistem ekonomi pasar bebas cenderung melebarkan kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin, antara negara kaya dan negara miskin. Bangsa kita belum mampu ber-saing di pasar internasional. Ketidakmampuan bangsa kita itu antara lain disebabkan oleh kesalahan internal bangsa kita sendiri, yakni masih banyaknya korupsi, kolusi dan nepotisme.

Reformasi juga belum membawa banyak perbaikan di bidang politik. Memang, di-bandingkan dengan masa pemerintahan Orde Baru, masa pemerintahan kita dewasa ini sudah jauh lebih demokratis. Media massa menikmati kebebasan yang cukup luas. Dewan Perwakil-an Rakyat memiliki kewenangan yang makin besar. Presiden dan pimpinan-pimpinan di daerah sudah dipilih oleh rakyat secara langsung. Meskipun demikian, kepentingan rakyat kecil belum terangkat secara semesti-nya. Lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif belum sungguh-sungguh berpihak kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir.

Reformasi sebenarnya dimaksud untuk mem-perbaiki masyarakat Indonesia secara me-nyeluruh, termasuk di bidang moral. Namun kenyataannya, belum ada tanda-tanda positif bahwa moral masyarakat kita bertambah baik. Habitus lama masih berlanjut. Kekerasan tetap terjadi di mana-mana, baik di rumah-rumah maupun di tengah-tengah masyarakat luas. Korupsi malah semakin menyebar, antara lain karena semakin kuatnya otonomi daerah. Kerusakan lingkungan alam dan lingkungan hidup samasekali belum berkurang.

B. Tantangan dari lingkungan keluarga

Tantangan-tantangan yang ada di hadapan keluarga tidaklah hanya berasal dari masyarakat luas, melain-kan juga dari lingkungan keluarga sendiri, baik dari keluarga besar maupun dari keluarga inti. Yang dimaksud dengan keluarga besar adalah suami-istri, anak-anak, dan sanak saudara dari suami maupun istri, di manapun mereka berada. Sedang yang dimaksud dengan keluarga inti adalah suami-istri, anak-anak, dan sanak saudara yang tinggal serumah dengan mereka.

1. Tantangan dari keluarga besar

Keluarga besar sebenarnya merupakan suatu sumber dukungan dan kesejahteraan bagi keluarga inti. Seluruh keluarga besar dapat memberikan dukungan kepada salah satu anggotanya yang sedang berada dalam kondisi lemah secara psikis, maka membutuhkan penguatan dan peneguhan. Seluruh keluarga besar dapat memberikan bantuan kepada salah satu anggotanya yang sedang berada dalam kondisi sulit secara finansial, maka mem-butuhkan pinjaman atau pemberian yang tulus. Meskipun demikian, keluarga besar juga dapat menimbulkan tantangan, misalnya bila anggota-anggota keluarga besar campur tangan ter-lampau jauh pada urusan keluarga inti.

2. Tantangan dari dalam keluarga inti

Berdasarkan angket Keuskupan Agung Semarang pada tahun 2006, berikut adalah beberapa tantangan yang dapat muncul dari dalam keluarga inti sendiri.

a. Tantangan dalam relasi antara suami dan istri

Kurangnya transparansi antara suami dan istri.

Kurangnya kerukunan antara suami dan istri.

Kurangnya komunikasi antara suami dan istri.

Kurangnya kesetiaan suami/istri kepada pasangannya.

Kurangnya kesediaan berkorban dari suami/istri bagi pasangannya.

Adanya kecemburuan dari suami/istri terhadap pasangannya.

Adanya dominasi suami/istri atas pasangannya.

Adanya tindak kekerasan suami/istri terhadap pasangannya.

b. Tantangan dalam hal penghayatan iman

Kurang kuatnya iman semua/sebagian anggota keluarga.

Kurang tepatnya pemahaman dan peng-hayatan sakramen perkawinan.

Kurangnya kemampuan orangtua dalam mengembangkan iman anak-anak mereka.

Kurangnya kemampuan keluarga meng-hadapi arus global yang sekularistik.

c. Tantangan dalam hal ekonomi rumah tangga

Kurangnya kemampuan suami-istri untuk mengelola ekonomi rumah tangga.

Kurangnya penghasilan keluarga untuk memenuhi berbagai kebutuhan.

Adanya beban hutang keluarga.

Sulitnya mencari pekerjaan.

Kurang kuatnya kemampuan suami-istri menghadapi godaan konsumerisme.

d. Tantangan dalam hal relasi antara orangtua dan anak-anaknya

Kurangnya keakraban antara orangtua dan anak-anak mereka.

Ketidakpuasan anak-anak terhadap sikap atau kondisi orangtua mereka.

Ketidakpuasan orangtua terhadap sikap atau kondisi anak-anak mereka.

NB: Tantangan-tantangan di atas tentu saja tidak hanya perlu diketahui dan dipahami, melainkan juga perlu ditanggapi dengan mencari solusi yang tepat atasnya.

II. HARAPAN-HARAPAN GEREJA

Gereja mempunyai beberapa harapan terhadap keluarga-keluarga katolik. Harapan-harapan tersebut dapat dirumuskan secara singkat dan sederhana sebagai berikut.

A. Keluarga disiapkan dengan baik

Gereja berharap bahwa perkawinan dan hidup ber-keluarga disiapkan dengan baik. Menurut Paus Yohanes Paulus II, seperti terungkap dalam dokumen Familiaris Consortio, hidup ber-keluarga sebaiknya disiapkan dalam tiga tahap berikut (FC 66).

1. Persiapan jauh

Hidup berkeluarga sebaiknya disiapkan sejak masa kanak-kanak, terutama dengan pendidik-an nilai, baik yang terkait dengan nilai-nilai manusiawi pada umumnya maupun yang terkait dengan nilai-nilai kristiani pada khususnya. Yang dimaksud dengan pendidikan nilai ialah pendidikan yang meningkatkan kemauan dan kemampuan anak untuk me-wujudkan kebaikan-kebaikan manusiawi (seperti kesehatan, kerapian, keramahan, ketekunan, keterbukaan, kejujuran, dan keadilan) maupun kebaikan-kebaikan khas kristiani (seperti iman, harapan, dan kasih kepada Allah).

Sejak masa remaja, pendidikan nilai itu hendaknya juga memuat pendidikan seksuali-tas yang baik. Pendidikan seksualitas tersebut hendaknya diberikan dengan memperhatikan segi-segi biologis/anatomis, segi-segi psikologis, dan segi-segi etis.

2. Persiapan dekat

Hidup berkeluarga sebaiknya disiapkan secara lebih intensif sejak masa pacaran. Pemuda-pemudi yang sedang berpacaran perlu di-dampingi secara bijaksana, agar mereka mau dan mampu berpacaran secara kristiani. Hendaknya ditekankan bahwa masa pacaran haruslah diwarnai oleh pengenalan kepribadian dan penjajagan yang mendalam menuju per-kawinan, bukan oleh kemesraan yang dangkal dan kenikmatan sesaat. Selain itu, pemuda-pemudi yang sedang berpacaran perlu disadar-kan dan didorong untuk merintis pekerjaan atau profesi tertentu, agar kelak mereka dapat mencukupi nafkah keluarga mereka sendiri secara mandiri.

3. Persiapan akhir

Beberapa bulan menjelang upacara pernikah-an, hidup berkeluarga perlu disiapkan secara lebih intensif, terutama dengan kursus persiapan perkawinan, penyelidikan kanonik, dan pengumuman nikah.

Kursus persiapan perkawinan hendaknya di-berikan dengan metode yang tepat dan me-narik, dengan bahan-bahan yang relevan dan aktual, oleh orang-orang yang kompeten di bidang-bidang yang terkait dengan bahan-bahan tersebut. Para pengajar kursus persiap-an perkawinan diharap mengacu pada buku pedoman kursus persiapan perkawinan yang diterbitkan oleh Keuskupan Agung Semarang.

Sementara itu, penyelidikan kanonik hendak-nya dilaksanakan oleh pastor dengan sabar dan teliti, sesuai dengan amanat Hukum Gereja. Penyelidikan tersebut hendaknya sekaligus di-jadikan kesempatan guna menilai kemauan dan kemampuan para calon mempelai untuk mem-bangun keluarga yang benar-benar berciri katolik.

Akhirnya, pengumuman nikah hendaknya di-laksanakan untuk mendorong kontrol sosial, melengkapi penyelidikan kanonik yang dilaku-kan oleh pastor, bukan hanya sebagai formalitas belaka. Umat diharap menanggapi pengumum-an nikah itu secara aktif, yakni dengan mem-berikan laporan obyektif kepada pastor, bila mereka mengetahui adanya halangan pada perkawinan yang direncanakan itu.

B. Keluarga didasarkan pada perkawinan yang sah

Gereja berharap bahwa hidup berkeluarga didasarkan atas perkawinan yang sah. Hal itu antara lain berarti bahwa kedua mempelai harus mengawali hidup berkeluarga mereka dengan upacara peneguhan perkawinan yang sesuai dengan Hukum Gereja, seperti termuat dalam Kitab Hukum Kanonik (ter-utama kanon 1108 sampai dengan kanon 1123). Secara singkat, Hukum Gereja tersebut menetapkan hal-hal berikut.

1. Peneguhan perkawinan antara dua orang katolik

Perkawinan antara dua orang katolik merupa-kan sebuah perkawinan yang sah, dan sekali-gus sakramental, bila diawali dengan upacara peneguhan perkawinan secara kanonik. Artinya: diteguhkan dengan pengucapan kesepakatan-nikah kedua mempelai di hadapan seorang diakon/imam dan dua saksi.

Demi kepentingan-kepentingan yuridis dan sosial, peneguhan perkawinan secara kanonik itu hendaknya kemudian dicatatkan di Kantor Kependudukan, sesuai dengan hukum per-kawinan yang berlaku di negara kita, yakni Undang-Undang RI nomor 1 tahun 1974.

2. Peneguhan perkawinan antara seorang katolik dan seorang kristen bukan-katolik

Perkawinan antara seorang katolik dan se-orang kristen bukan-katolik merupakan per-kawinan yang sah, dan sekaligus sakramental, bila diawali dengan upacara peneguhan per-kawinan secara kanonik. Artinya: diteguhkan dengan pengucapan kesepakatan-nikah kedua mempelai di hadapan seorang diakon/imam dan dua saksi.

Bila ada alasan yang memadai, pendeta kristen non-katolik dapat hadir dalam peneguhan per-kawinan secara kanonik itu. Bahkan, bila perlu dan berguna, bersama-sama dengan diakon/imam, pendeta kristen non-katolik tersebut dapat memberikan berkat perkawinan kepada kedua mempelai.

Hendaknya dicegah terjadinya dua kali upacara peneguhan perkawinan yang berbeda, yakni satu kali dengan cara katolik dan satu kali dengan cara kristen bukan-katolik. Peneguhan perkawinan pada dua upacara berbeda semacam itu dapat menimbulkan kerancuan hukum dan sandungan.

3. Peneguhan perkawinan antara seorang katolik dan seorang bukan-kristen

Perkawinan antara seorang katolik dan se-orang bukan-kristen merupakan perkawinan yang sah, meskipun tidak sakramental, bila diawali dengan upacara peneguhan perkawinan secara kanonik. Artinya: diawali dengan peng-ucapan kesepakatan-nikah kedua mempelai di hadapan seorang diakon/imam dan dua saksi.

Hendaknya dicegah terjadinya dua kali upacara peneguhan perkawinan yang berbeda, yakni satu kali dengan cara katolik dan satu kali dengan cara agama non-kristen. Peneguhan perkawinan pada dua upacara berbeda se-macam itu dapat menimbulkan kerancuan hukum dan sandungan.

C. Keluarga menjadi komunitas hidup dan kasih

Gereja berharap bahwa keluarga menjadi komunitas kehidupan dan kasih, yang ditandai oleh sikap hormat dan syukur terhadap anugerah kehidupan serta kasih timbal-balik dari semua anggotanya. Harapan Gereja ini antara lain terungkap dalam konstitusi pastoral Konsili Vatikan II yang berjudul Gaudium et Spes (GS 48) dan seruan apostolik Paus Yohanes Paulus II yang berjudul Familiaris Consortio (FC 17-41).

1. Dijadikan komunitas kehidupan

Umat beriman diharap memandang dan menghayati kehidupan sebagai anugerah Allah, yang pantas dihormati dan disyukuri. Konsekuensinya, kehidupan setiap manusia hendaklah dihormati sejak saat pembuahan sampai saat kematiannya. Seiring dengan itu, kehidupan setiap manusia hendaknya di-pelihara dan dikembangkan dengan meng-usahakan, memelihara, dan meningkatkan kesehatan, baik secara fisik, psikis, maupun spiritual.

2. Dijadikan komunitas kasih

Setiap orang beriman dipanggil dan diutus untuk mengasihi Allah melebihi segala sesuatu dan mengasihi sesama seperti dirinya sendiri. Selaras dengan itu, semua anggota keluarga dipanggil untuk saling mengasihi dengan kemesraan, dan diutus untuk mengasihi dengan ketulusan semua orang lain, terutama mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir atau terlantar.

D. Keluarga menjadi Gereja kecil

Gereja berharap bahwa semua anggota keluarga katolik berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan keluarga mereka sebuah Gereja kecil, sebuah paguyuban umat beriman, seperti digambarkan dalam kitab Kisah Para Rasul (2:41-47 dan 4:32-37). Harapan Gereja itu antara lain diungkapkan secara jelas oleh Paus Yohanes Paulus II dalam seruan apos-toliknya Familiaris Consortio. Di sana ditegaskan beberapa hal berikut (FC 49-64).

1. Keluarga yang guyub

Sebuah keluarga katolik hanya layak disebut sebagai gereja kecil bila keluarga itu diwarnai oleh suasana guyub, sehingga mewujudkan sebuah communio. Artinya: komunitas yang rukun dan akrab, berdasarkan hormat dan kasih. Juga bila kadang-kadang ada konflik, konflik itu diselesaikan dalam semangat dan suasana hormat dan kasih, bukan dalam suasana emosi yang tak terkendali.

2. Keluarga yang dijiwai oleh iman

Sebuah keluarga katolik juga hanya layak disebut sebagai Gereja kecil bila hidup semua anggotanya dijiwai dengan iman, yang terutama ditandai oleh sikap hormat dan kasih kepada Kristus dan Gereja-Nya. Iman mereka hendak-nya diyakini, dipahami, diungkapkan, dirayakan, diwartakan, dan diamalkan secara terus-menerus, baik di dalam maupun di luar rumah.

E. Keluarga menjadi “komunitas mistik”

Setiap keluarga katolik sebaiknya dijadikan sebuah “komunitas mistik”. Mistik berarti akrab dengan Allah, sampai terasa juga secara afektif. Maka keluarga katolik dapat dinilai sebagai komunitas mistik bila keluarga itu akrab atau sangat dekat dengan Allah, sampai merasakannya secara afektif, meskipun masyarakat luas di sekitarnya justru cenderung menjauh dari Allah.

1. Keakraban dengan Allah

Karena iman mereka, semua anggota keluarga katolik dipanggil dan diutus untuk meng-usahakan, memelihara, dan meningkatkan persahabatan mereka dengan Bapa, dengan perantaraan Kristus, dan dengan bantuan Roh Kudus. Dalam masyarakat yang cenderung sekularistik, panggilan dan pengutusan ini pasti tidak mudah dijalankan. Meskipun demi-kian, persahabatan dengan Bapa itu tetap harus diupayakan sekuat tenaga, baik demi pengem-bangan keluarga sendiri maupun demi pengembangan masyarakat sekitar. Untuk itu, keluarga-keluarga katolik diharap tetap meng-hargai dan mengejar nilai-nilai kerohanian, tidak terhanyut pada arus global yang semakin mengutamakan nilai-nilai kebendaan.

2. Kesatuan dengan masyarakat sekitar

Menjadi “komunitas mistik” tidaklah berarti menjadi komunitas yang aneh dan terasing dari masyarakat sekitar. Karena itu, keluarga katolik diharap tetap hidup terintegrasi dengan masyarakat sekitar. Hal itu, misalnya, dapat diwujudkan dengan memelihara relasi dan komunikasi yang baik dengan para tetangga, teman-teman kerja, dan teman-teman bergaul. Perbedaan keyakinan religius tidak layak dijadikan alasan untuk mengambil jarak, dalam arti negatif, dari mereka yang punya sikap hidup yang lain.

F. Keluarga ikut membangun Gereja

Dalam seruan apostoliknya yang berjudul Familiaris Consortio, Paus Yohanes Paulus II juga menekankan peran keluarga katolik sebagai sel pembangun Gereja (FC 49-64). Peran penting tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut.

1. Ikut membangun Gereja setempat

Keluarga katolik tidak dapat dan tidak boleh hanya peduli pada kepentingannya sendiri. Ia bukanlah sebuah pulau tersendiri yang terpisah jauh dari pulau-pulau yang lain. Ia merupakan sel terkecil dari Gereja yang lebih luas, yakni Gereja se-lingkungan, Gereja se-wilayah, Gereja se-paroki, Gereja se-keuskupan. Karena itu, keluarga katolik diharap ikut terlibat dalam kehidupan beriman umat setempat, sekurang-kurangnya di lingkungan, wilayah, dan parokinya.

2. Berkembang bersama umat se-keuskupan

Setiap keluarga katolik yang hidup dan bertempat tinggal di wilayah Keuskupan Agung Semarang diharap berkembang bersama umat se-keuskupan. Hal itu antara lain berarti bahwa semua anggota keluarga katolik diharap mengembangkan kehidupan iman mereka selaras dengan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang, yang diterbitkan setiap lima tahun sekali.

G. Keluarga ikut membangun masyarakat

Gereja tidak hanya melihat keluarga sebagai sel pembangun Gereja, melainkan juga sebagai sel pembangun masyarakat. Hal itulah yang juga ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II melalui seruan apostoliknya Familiaris Consortio. Tentang peran penting ini, hal-hal berikut kiranya pantas diperhatikan (FC 42-48).

1. Ikut membangun masyarakat setempat

Setiap keluarga, termasuk keluarga katolik, merupakan sel terkecil dari masyarakat luas. Karena itu, setiap keluarga katolik diharap ikut membangun masyarakat luas, baik di tingkat rukun tetangga, rukun warga, maupun kota/kabupaten. Sebagai sel terkecil dari masyarakat luas, keluarga katolik diharap memberikan sumbangan positif dalam pembangunan masyarakat luas. Berdasarkan amanat Injil, keluarga katolik diharap menjadi “garam yang mengasinkan” dan “pelita yang menerangi” masyarakat di sekitarnya. Dalam kaitan dengan amanat suci ini, keluarga katolik diharap ikut mengambil bagian aktif dalam usaha seluruh masyarakat Indonesia untuk menentang dan mengatasi korupsi, kekerasan, dan kerusakan lingkungan hidup.

2. Bersikap tepat terhadap masyarakat

Proses globalisasi se-dunia dan proses reformasi se-tanah-air membawa pengaruh pada seluruh masyarakat di Indonesia, termasuk umat di Keuskupan Agung Semarang. Menyadari adanya pengaruh positif dan negatif dari proses-proses tersebut, semua keluarga katolik di Keuskupan Agung Semarang diharap mau dan mampu mengambil sikap yang tepat terhadap masyarakat, yakni dengan cara: memanfaatkan yang positif dan menolak yang negatif.

H. Keluarga menjadi tempat pendidikan pertama dan utama

Keluarga bukanlah semata-mata merupakan lingkungan tempat anak-anak bertumbuh secara fisik. Keluarga juga merupakan lingkungan tempat mereka bertumbuh secara psikis, moral, sosial, dan spiritual. Baik dalam konsep maupun dalam praktik, hal itu menjadi nyata bila keluarga menjadi tempat pendidik-an yang pertama dan utama.

1. Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama

Sebelum mendapat dan menjalani pendidikan di luar rumah, hampir setiap anak mendapat dan menjalani pendidikan di rumah orangtuanya sendiri. Hak dan kewajiban orangtua untuk mendidik anak-anak mereka di rumah merupa-kan kelanjutan dan konsekuensi dari hak dan kewajiban mereka untuk melahirkan dan mengasuh anak-anak mereka. Hak dan kewajiban itu tidak boleh diingkari oleh siapa pun juga (GE 3 dan FC 36).

2. Keluarga juga merupakan tempat pendidikan yang utama

Juga saat anak-anak mulai mendapat pendidik-an formal di luar rumah, keluarga tetap merupakan tempat pendidikan yang utama. Pendidikan formal di luar rumah tidaklah menggantikan, melainkan melengkapi pen-didikan yang informal di rumah. Orangtua tetap merupakan pendidik yang utama, yang tidak tergantikan oleh para pendidik formal di luar rumah.

I. Keluarga menjadi tempat pembenihan dan pengembangan panggilan hidup

Sebagai tempat pendidikan yang pertama dan utama, keluarga juga diharap menjadi tempat pembenihan dan pengembangan panggilan hidup. Dalam kaitan dengan hal itu, keluarga diharap menjadi tempat ber-kembangnya kepribadian semua anak, sehingga kelak mereka menjadi orang-orang dewasa yang benar-benar manusiawi dan sekaligus benar-benar katolik. Di sana, setiap anak dibantu dalam mencari dan menemukan panggilan Allah atas dirinya, entah untuk menjadi imam, untuk hidup membiara, atau untuk berkeluarga.

1. Pengembangan keutamaan-keutamaan manusiawi

Seorang anak akan berkembang menjadi seorang dewasa yang benar-benar manusiawi bila di dalam dirinya berkembanglah keutamaan-keutamaan manusiawi, baik yang bersifat personal (seperti kesehatan, kerapian, dan ketekunan) maupun yang bersifat sosial (seperti kesopanan, keramah-tamahan, keter-bukaan, kejujuran, dan keadilan).

2. Pengembangan keutamaan-keutamaan katolik

Seorang anak akan berkembang menjadi seorang dewasa yang benar-benar katolik bila di dalam dirinya berkembanglah keutamaan-keutamaan kristiani pada umumnya (seperti iman-kasih-harapan kepada Allah Tritunggal, penghormatan dan penghargaan pada Kitab Suci) maupun keutamaan-keutamaan katolik pada khususnya (seperti devosi kepada Bunda Maria, pemahaman dan penghargaan terhadap tradisi Gereja, penghormatan dan keterbukaan terhadap hirarki).

Keutamaan-keutamaan kristiani merupakan bekal yang sangat penting bagi setiap orang, agar ia mampu menanggapi dan menghayati panggilan Allah, baik sebagai imam atau biarawan/biarawati maupun sebagai suami/istri atau ayah/ibu.

III. SARAN-SARAN PASTORAL

A. Untuk Seluruh Umat

Tahun Keluarga selama tahun 2007 ini merupakan tahun kedua dalam periode lima-tahunan hidup beriman umat Keuskupan Agung Semarang, yang dilaksanakan berdasarkan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang Tahun 2006-2010. Program pastoral yang utama selama lima tahun tersebut adalah pembangunan habitus baru, berdasarkan semangat Injil.

Selama tahun 2007 ini, seluruh umat di Keuskupan Agung Semarang diharap berusaha sekuat tenaga membangun habitus baru, terutama dalam dan melalui keluarga masing-masing. Mentalitas dan kebiasaan hidup baru tersebut perlu dibangun bersamaan dengan usaha seluruh bangsa Indonesia untuk mengatasi de-moralisasi, yang terutama terjadi karena korupsi, kekerasan, dan kerusakan lingkungan hidup.

B. Untuk Dewan Paroki

Dewan Paroki merupakan lembaga kepemimpinan dan pelayanan pastoral di tingkat paroki. Lembaga tersebut merupakan penanggungjawab utama dalam pelaksanaan semua karya pastoral di seluruh wilayah paroki yang bersangkutan.

Dalam kaitan dengan pendampingan keluarga, Dewan Paroki terutama punya wewenang dan tugas sebagai pembuat kebijakan. Diharapkan bahwa kebijakan pastoral Dewan Paroki selama tahun 2007 ini, sekurang-kurangnya di bidang pendampingan keluarga, diselaraskan dengan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang Tahun 2006-2010 dan saran-saran pastoral dari Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang, seperti termuat dalam Nota Pas-toral Keuskupan Agung Semarang Tahun 2007 ini.

Dalam hal pendampingan keluarga, kebijakan Dewan Paroki selama Tahun Keluarga ini hendaknya menyangkut sekurang-kurangnya tiga bidang berikut: persiapan perkawinan; pendampingan umum bagi keluarga-keluarga yang berada dalam keadaan biasa; dan pendampingan khusus bagi keluarga-keluarga yang berada dalam keadaan khusus (misalnya keluarga berbeda agama, keluarga yang didasarkan pada perkawinan yang belum sah, keluarga yang sangat miskin, dan sebagainya).

Dewan Paroki diharap mengusahakan pendampingan pastoral yang ter-rencana, ter-koordinasi, dan sesuai dengan kebutuhan nyata dari keluarga-keluarga katolik yang ada di seluruh wilayah parokinya. Untuk itu, Dewan Paroki diharap mengarahkan dan men-dukung program-program pendampingan keluarga yang diusahakan oleh Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki (TKPKP), para pengurus wilayah, para pengurus lingkungan, dan kelompok-kelompok peduli keluarga (seperti Marriage Encounter(ME), Couples For Christ (CFC), gerakan-gerakan Pro-Life, Jaringan Mitra Perempuan (JMP), Forum Refleksi Gender (FRG), Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Ibu-Ibu Paroki, lembaga-lembaga bantuan hukum, dan semacamnya).

Dewan Paroki dapat mendampingi keluarga-keluarga di seluruh paroki bila Dewan Paroki mampu menyemangati dan menggerakkan para pengurus lingkungan, pengurus wilayah, dan pengurus stasi untuk mendampingi keluarga-keluarga di lingkungan mereka masing-masing. Untuk itu, Dewan Paroki diharap membekali dan terus-menerus memberdaya-kan para pengurus lingkungan, wilayah, dan stasi itu.

C. Untuk Para Imam

Menurut Konsili Vatikan II, seperti terungkap dalam dekrit Presbyterorum Ordinis, para imam dipanggil dan diutus melayani Gereja. Tugas itu dapat dilaksanakan secara teritorial maupun secara kategorial, di paroki tertentu atau pada kelompok tertentu. Pelayanan itu terutama dilaksanakan dengan mewartakan sabda, menguduskan umat, dan me-mimpin umat (PO 4-6).

1. Dengan mewartakan sabda

Iman merupakan tanggapan atas sabda Allah. Karena itu, sabda Allah perlu diwartakan dengan baik, agar orang beriman dapat menanggapinya dengan baik pula. Meskipun kaum awam juga dipanggil dan diutus mewartakan sabda, para imam mempunyai panggilan dan perutusan khusus di bidang itu. Selanjutnya, dalam kaitan dengan keluarga, para imam diharap dengan setia mewartakan sabda Allah tentang perkawinan dan keluarga, seperti telah ditafsirkan dan dijelaskan lebih lanjut oleh para pemimpin Gereja, baik Paus, Konferensi Wali Gereja, maupun para Uskup.

2. Dengan menguduskan umat

Seluruh umat, maupun masing-masing anggotanya, dipanggil dan diutus menuju kesucian. Semua dipanggil dan diutus untuk semakin bersatu dengan Allah, Sang Maha kudus. Mengingat hal itu, para imam diharap memberikan bantuan sebaik mungkin kepada seluruh umat, agar mereka semakin mampu menjadi umat yang kudus. Salah satu caranya adalah dengan menguduskan pasangan-pasangan suami-istri dan keluarga-keluarga. Para imam diharap membantu pasangan-pasangan suami-istri agar mereka semakin mampu menghayati perkawinan mereka sebagai sakramen, lambang dari kasih Allah sendiri. Selain itu, para imam juga diharap membantu keluarga-keluarga katolik, agar keluarga-keluarga itu semakin mampu menjadi Gereja-Gereja kecil, yang secara bersama-sama kemudian membangun Gereja lingkung-an, Gereja wilayah, dan Gereja paroki.

3. Dengan memimpin umat

Keluarga-keluarga katolik, secara bersama-sama, hanyalah membentuk umat, paguyuban umat beriman, bila keluarga-keluarga itu dipimpin dan disatukan. Untuk itulah, antara lain, para imam dianugerahi tahbisan dan kuasa (yurisdiksi) yang menyertainya. Melalui ber-bagai cara, para imam diharap memimpin dan menyatukan keluarga-keluarga katolik, agar secara bersama keluarga-keluarga itu benar-benar menjadi satu umat, satu paguyuban umat beriman, satu Gereja.

D. Untuk Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki (TKPKP)

Dalam usaha-usaha mendampingi keluarga-keluarga katolik di seluruh wilayah paroki, Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki (TKPKP) diharap bertindak sebagai pengemban kebijakan Dewan Paroki, sebagai animator dan koordinator berbagai program pendampingan keluarga dari berbagai kelompok, dan sekaligus sebagai pelaksana beberapa program strategis yang direncanakannya sendiri.

Sebagai bagian dari Dewan Paroki, Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki (TKPKP) diharap menyelaraskan program-programnya dengan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang Tahun 20062010, Nota Pastoral Keuskupan Agung Semarang Tahun 2007 ini, saran-saran khusus Komisi Pendampingan Keluarga tingkat keuskupan maupun tingkat kevikepan, dan kebijakan pastoral keluarga yang telah ditetapkan atau disetujui oleh Dewan Paroki.

Dalam rangka koordinasi berbagai program pendampingan keluarga, Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki (TKPKP) diharap menyemangati, melibatkan, dan memadukan berbagai kegiatan pendampingan keluarga, baik yang diusahakan oleh para pengurus wilayah dan pengurus lingkungan maupun oleh kelompok-kelompok peduli keluarga (seperti Marriage Encounter (ME), Couples For Christ (CFC), gerakan-gerakan Pro-Life, Jaringan Mitra Perempuan (JMP), Forum Refleksi Gender (FRG), Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Ibu-Ibu Paroki, lembaga-lembaga bantuan hukum, dan semacamnya).

Kelompok Marriage Encounter (ME) diharap semakin giat membantu suami-istri agar relasi antar mereka semakin baik dan mesra. Kelompok Couples For Christ (CFC) atau Pasangan Suami-Istri untuk Kristus (PasuKris) diharap tetap bersemangat membantu keluarga-keluarga katolik dalam meng-hayati iman mereka. Sementara para aktivis Pro-Life diharap lebih memusatkan perhatian pada pembelaan kehidupan (misalnya dengan melawan aborsi), Jaringan Mitra Perempuan (JMP) dan Forum Refleksi Gender (FRG) diharap lebih memusatkan perhatian pada kesetaraan antara kaum pria dan kaum perempuan. Bersama Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Ibu-Ibu Paroki diharap terlibat dalam berbagai program pendampingan keluarga, terutama dengan mengusahakan hal-ikhwal pen-didikan anak-anak di rumah. Akhirnya, untuk me-nolong keluarga-keluarga tertentu, lembaga-lembaga hukum di lingkungan umat katolik diharap memberikan sumbangannya yang khas, yang terutama menyangkut konsultasi dan pembelaan di bidang hukum.

Sesuai dengan amanat pimpinan Gereja universal, seluruh umat katolik diharap punya kepedulian yang memadai terhadap perkawinan dan hidup ber-keluarga. Dalam rangka pelaksanaan amanat tersebut, Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki (TKPKP) terutama diharap merencanakan dan melaksanakan program-program konkrit yang meliputi : persiapan orang muda menuju perkawinan; pendampingan bagi keluarga-keluarga dalam kondisi biasa; dan pendampingan bagi keluarga-keluarga dalam kondisi sulit. Berikut adalah beberapa catatan tentang ketiga bidang tersebut.

1. Persiapan perkawinan

Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki (TKPKP) diharap mau dan mampu memper-siapkan anak-anak muda menuju perkawinan yang kristiani. Terkait dengan hal ini, salah satu program strategis yang perlu diutamakan ialah pendidikan nilai, pendidikan seksualitas, dan pendampingan bagi pemuda-pemudi yang sedang berpacaran.

2. Pendampingan bagi keluarga-keluarga dalam keadaan biasa

Bagi keluarga-keluarga yang berada dalam kondisi biasa, Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki (TKPKP) diharap mau dan mampu mem-berikan pendampingan yang memadai, agar keluarga-keluarga itu tidak terjerumus ke dalam kondisi sulit. Tujuan pokok pendampingan tersebut adalah: kesatuan suami-istri, pendidikan anak-anak di rumah, penghayatan iman dalam keluarga, dan kesejahteraan keluarga.

Semua pasangan suami-istri perlu dibantu agar mereka semakin mampu menciptakan relasi timbal-balik yang baik, yang didasarkan pada sikap hormat dan kasih yang sejati. Pasangan suami-istri kristiani perlu dibantu agar mereka dapat saling mengasihi, seperti Kristus mengasihi umat-Nya (Ef 5:21-33).

Sebagai ayah dan ibu, suami-istri perlu dibantu agar mereka semakin mampu memberikan pendidikan nilai dan pendidikan iman secara efektif, sedemikian sehingga anak-anak punya kebanggaan dan semangat berkobar dalam menghayati iman dan moral kristiani. Kebanggaan dan semangat berkobar itu hanya dapat tumbuh dalam diri anak-anak bila orangtua mereka sendiri juga menghayati iman dan moral kristiani dengan bangga dan semangat yang bernyala-nyala. Hal-hal berikut dapat dilihat sebagai perwujudan konkrit dari kebanggaaan dan semangat berkobar tersebut: pembaptisan bayi dengan persiapan yang baik dan tanpa ditunda-tunda; penerimaan sakramen-rekonsiliasi dan komuni pertama dengan persiapan yang memadai dan tepat waktu; penerimaan sakramen krisma yang disiapkan sebaik mungkin, dan sebagainya.

Bersama semua anggota keluarga yang lain, suami-istri perlu dibantu agar seluruh keluarga mereka semakin mampu menghayati iman, terutama dengan meyakini, memahami, mengungkapkan, merayakan, mewartakan, dan mengamalkannya dalam hidup sehari-hari mereka.

Akhirnya, sebagai tiang utama keluarga, suami-istri perlu dibantu agar mau dan mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga mereka secara mandiri, melalui upaya-upaya yang halal dan produktif, sehingga tidak ter-gantung pada belas kasih dan bantuan orang lain.

3. Pendampingan bagi keluarga-keluarga dalam keadaan khusus

Sebagian dari keluarga-keluarga katolik berada dalam keadaan khusus. Maka keluarga-keluarga itu juga membutuhkan pendampingan yang bersifat khusus. Keadaan khusus itu misalnya muncul karena perbedaan agama, tidak-sahnya perkawinan, kemiskinan, per-ceraian, kematian suami/istri, dan sebagainya. Pendampingan khusus itu dapat dipercayakan kepada pastor paroki, pasangan suami-istri yang berpengalaman, dokter, bidan, ahli Hukum Gereja, ahli hukum sipil, psikolog, psikiater, Tribunal Gereja, Panitia Pastoral Perkawinan, dan sebagainya.

Mengingat rumitnya masalah-masalah ke-luarga, para penanggungjawab maupun para pelaksana pendampingan keluarga diharap bersedia dan berusaha memberdayakan diri tanpa henti, agar pendampingan yang mereka laksanakan semakin sesuai dengan kebutuhan yang nyata.

E. Untuk Kelompok-Kelompok Peduli Keluarga

Umat Keuskupan Agung Semarang pantas bersyukur dan bergembira, bahwa di keuskupan ini telah hadir dan berkiprah beberapa kelompok peduli keluarga, seperti misalnya Marriage Encounter (ME), Couples For Christ (CFC), gerakan-gerakan Pro-Life, Jaringan Mitra Perempuan (JMP), Forum Refleksi Gender (FRG), Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Ibu-Ibu Paroki, lembaga-lembaga bantuan hukum, dan sebagaiya.

Demi efektivitas pendampingan keluarga di paroki, semua kelompok peduli keluarga diharap selalu berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki (TKPKP). Selain itu, tentu saja, kelompok-kelompok peduli keluarga yang berkarya di Keuskupan Agung Semarang diharap menyelaraskan kegiatan-kegiatan pastoralnya dengan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang Tahun 20062010 dan Nota Pastoral Keuskupan Agung Semarang Tahun 2007 ini.

F. Untuk Para Pengurus Lingkungan dan Wilayah

Baik para pengurus Dewan Paroki maupun para anggota Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki (TKPKP) tidak punya kemampuan yang cukup untuk mendampingi keluarga-keluarga di seluruh paroki. Tenaga maupun waktu mereka itu terbatas. Karena itu, para pengurus lingkungan dan para pengurus wilayah juga diharap melaksanakan pendampingan keluarga di lingkungan atau wilayah masing-masing. Hal-hal berikut kiranya dapat mereka laksanakan dengan baik.

1. Kunjungan keluarga

Agar dapat mengenal dengan baik semua warga lingkungan atau wilayahnya, para pengurus lingkungan atau wilayah diharap mengunjungi keluarga-keluarga katolik yang ada di lingkungan atau wilayahnya masing-masing. Melalui kunjungan itu akan muncullah komunikasi, dialog, saling pengertian, kerja sama, dan persatuan umat.

2. Kelompok belajar berkeluarga

Sejauh mungkin, di lingkungan atau wilayah hendaknya diadakan kelompok-kelompok belajar berkeluarga. Yang dimaksud dengan itu ialah: kelompok-kelompok, yang masing-masing beranggotakan 5 sampai 10 pasang suami-istri, yang secara berkala berkumpul untuk bersama-sama mempelajari hal-hal yang terkait dengan hidup berkeluarga. Bahan-bahan pelajaran itu dapat diambil dari paroki, kevikepan, atau keuskupan.

3. Kelompok pendalaman iman

Keluarga-keluarga katolik akan berkembang dengan lebih baik bila anggota-anggotanya lebih beriman. Karena itu, perlulah bahwa di lingkungan atau di wilayah dibentuk kelompok-kelompok pendalaman iman. Yang dimaksud dengan itu ialah: kelompok-kelompok, yang masing-masing beranggotakan beberapa orang sebaya, yang secara berkumpul untuk bersama-sama mempelajari hal-hal yang terkait dengan hidup beriman. Bahan-bahan pendalaman itu dapat diambil dari paroki, kevikepan, atau keuskupan.

G. Untuk Para Pendamping Umat

Kita pantas bersyukur, bahwa di Keuskupan Agung Semarang kita mengenal berbagai macam pendamping umat, seperti katekis, pewarta iman, pro-diakon, pemandu sarasehan APP, pemandu sarasehan adven, pemandu pendalaman iman di lingkungan, dan sebagainya.

Dalam pastoral keluarga di lingkungan atau di wilayah, mereka diharap membantu para pengurus lingkungan atau pengurus wilayah dalam mendampingi keluarga-keluarga, baik yang berada dalam kondisi biasa maupun yang berada dalam kondisi khusus.

Sumbangan para pendamping umat itu, misalnya, dapat diberikan kepada para pengurus lingkungan atau pengurus wilayah dengan memimpin kelompok belajar berkeluarga atau dengan memimpin kelompok pendalaman iman.

H. Untuk Para Suami-Istri

Setiap pasangan suami-istri dipanggil dan diutus memimpin dan melayani keluarganya sebaik mungkin. Berikut adalah beberapa tugas yang dipercayakan kepada mereka.

1. Menghayati relasi timbal-balik antara mereka berdua sebagai sakramen

Keyakinan katolik bahwa perkawinan merupa-kan sebuah sakramen tidak boleh menjadi sebuah konsep teologis belaka. Keyakinan itu perlu dan dapat diwujudkan secara nyata oleh suami-istri, yakni dengan sungguh-sungguh saling mengasihi, seperti Kristus benar-benar mengasihi umat-Nya (Ef 5:21-33). Dalam hal ini, perlulah diusahakan terciptanya kesetaraan dan keadilan gender. Suami tidak selayaknya bersikap dan bertindak sebagai atasan bagi isterinya. Demikian pula sebaliknya, istri tidak selayaknya bersikap dan bertindak sebagai bawahan dari suaminya.

2. Mengasuh dan mendidik anak-anak secara katolik

Kasih suami-istri tidak boleh berhenti dengan kasih timbal-balik antara mereka berdua. Kasih itu hendaknya meluas sampai pada semua anak, yang dianugerahkan Allah kepada mereka. Karena itulah Gereja selalu mengajar-kan, bahwa tugas mengasuh dan mendidik anak-anak merupakan kelanjutan kodrati dari tugas mengandung dan melahirkan mereka. Maka, orangtua yang mengandung dan melahirkan anak-anak dengan gembira hendaknya juga mengasuh dan mendidik mereka dengan bersemangat.

3. Membangun keluarga sebagai Gereja kecil

Keluarga katolik tidak hanya merupakan kumpulan beberapa orang yang se-agama, melainkan juga sebuah paguyuban, yang bersatu berdasarkan iman dan kasih. Suami-istri, sebagai pemimpin keluarga, dipanggil untuk membangun keluarga mereka menjadi sebuah Gereja kecil, sebuah kelompok orang-orang yang guyub dan se-iman. Suami-istri dipanggil dan diutus untuk mendorong keluarganya, agar secara teratur dan dengan tekun menimba rahmat dari Tuhan, dengan doa-doa pribadi maupun doa bersama.

4. Membangun keluarga yang mandiri

Keluarga-keluarga katolik, seperti keluarga-keluarga yang lain di negara kita, pada umum-nya merupakan keluarga-keluarga miskin. Meskipun demikian, keluarga-keluarga katolik diharap berusaha sekuat tenaga untuk hidup mandiri, juga di bidang ekonomi rumah tangga, bahkan masih rela memberikan bantuan kepada keluarga-keluarga lain yang lebih miskin lagi.

5. Ikut membangun Gereja

Sebagai Gereja kecil, keluarga kristiani merupakan sel terkecil dari Gereja yang lebih besar, yakni umat se-lingkungan, umat se-wilayah, atau umat se-paroki. Karena itu, suami-istri dipanggil memberikan sumbangan positif demi perkembangan umat seiman, terutama yang hidup di sekitar mereka. Sumbangan positif itu sekurang-kurangnya berupa partisipasi aktif dalam perayaan Ekaristi, terutama pada hari Minggu dan pada Hari-Hari Raya.

6. Ikut membangun masyarakat

Sebagai unit sosial terkecil, yang mempersatu-kan beberapa warga masyarakat, yang bersatu karena perkawinan atau hubungan kekerabatan, keluarga merupakan sel terkecil dari masyarakat yang lebih besar, yakni rukun tetangga, rukun warga, atau masyarakat kota/kabupaten setempat. Karena itu, suami-istri katolik dipanggil untuk mengambil bagian dalam usaha masyarakat ke arah kondisi yang lebih baik, terutama dengan menentang korupsi, kekerasan, dan kerusakan lingkungan hidup.

I. Untuk Para Guru di Sekolah

Sejak mereka berusia sekitar 5 tahun, anak-anak mendapat pendidikan formal di luar rumah. Di sana, para guru di sekolah mempunyai peran yang sangat penting. Mereka menjadi pendidik formal, yang melengkapi peran orangtua murid-murid, sebagai pendidik pertama dan utama mereka.

Demi berhasilnya usaha-usaha pendidikan bagi anak-anak itu, perlulah ada kerja sama yang baik antara para guru dan para orangtua murid. Kerja sama yang baik itu antara lain dapat diusahakan melalui pertemu-an yang teratur dan terarah.

Untuk itu, perlulah dihindarkan sikap dan tradisi “saling menunggu” atau “saling mengandaikan”. Kedua pihak diharap pro-aktif, agar benar-benar terjadi pertemuan-pertemuan yang teratur dan terarah, dan dengan demikian juga tercipta kerja sama yang baik antara para guru dan para orangtua murid.

J. Untuk Para Biarawan dan Biarawati

Para biarawan dan biarawati dipanggil dan diutus untuk mengasihi Allah dan sesama dalam bentuk dan ungkapan yang unik. Mereka diharap mengasihi Allah dengan seluruh diri dan seluruh hidup mereka, terutama dengan menghayati kaul-kaul religius mereka. Selain itu, mereka diharap mengasihi sesama dengan kasih yang murni dan sejati, kasih yang jauh dari ungkapan-ungkapan kemesraan fisik.

Sebagian dari mereka, tentu saja berdasarkan bekal yang memadai dan atas persetujuan pimpinan mereka, diharap ikut mengambil bagian dalam usaha seluruh Gereja mendampingi keluarga-keluarga beriman. Untuk berkarya bagi keluarga-keluarga, mereka perlu membekali diri sebaik mungkin, misal-nya dengan mengikuti kursus pendampingan keluarga yang diadakan oleh lembaga tertentu, seperti Pusat Pen-dampingan Keluarga (Semarang) dan semacamnya.

K. Untuk Para Calon Suami-Istri

Para calon suami-istri, yang telah saling mengenal selama beberapa waktu, diharap mempersiapkan perkawinan dan hidup-berkeluarga yang akan mereka bangun sebaik mungkin.

Selain memantapkan hati masing-masing dan meneguhkan relasi kasih antara mereka berdua, men-jelang hari pernikahan mereka, para calon suami-istri diharap melaksanakan dengan gembira dan sukarela empat hal penting berikut: mengikuti kursus persiapan perkawinan; menjalani penyelidikan kanonik; mempersiapkan liturgi pernikahan yang khidmat; dan mempersiapkan resepsi pernikahan sesuai dengan kemampuan keluarga.

L. Untuk Kaum Remaja dan Muda-Mudi

Perkawinan dan hidup-berkeluarga yang baik bukanlah suatu hal yang sepele dan mudah dilaksana-kan. Karena itu, kaum remaja dan muda-mudi yang merasa terpanggil untuk hidup berkeluarga diharap mempersiapkan diri sebaik-baiknya, secara bertahap dan secara berkelanjutan.

Setelah berkembang dalam berbagai hal yang baik selama masa kanak-kanak, kaum remaja diharap berkembang dalam menghayati seksualitas mereka, sesuai kehendak Tuhan sendiri. Pada masa itu, mereka terutama diharap mengembangkan keutama-an kemurnian. Rasa tertarik pada jenis lain, misalnya, hendaknya terutama ditunjukkan dengan sikap hormat dan sikap simpatik terhadap jenis lain itu.

Selanjutnya, muda-mudi yang sedang berpacaran diharap menjalani masa pacaran mereka secara kristiani. Artinya, mereka diharap semakin saling mengenal dan saling mengasihi dengan kasih yang murni dan sejati. Sesuai dengan nasihat Santo Paulus, mengasihi berarti: sabar, murah hati, sopan, dapat menyimpan rahasia, dan tak berkesudahan (1Kor 13:1-8).

M. Untuk Anak-Anak

Anak-anak merupakan anugerah dan titipan Tuhan. Dengan kata lain, ayah-ibu adalah orang-orang yang oleh Tuhan dititipi anak-anak, putra-putri terkasih Beliau sendiri. Ayah-ibu bukanlah pemilik melainkan pendamping dan pelindung anak-anak Tuhan.

Karena itu, selayaknyalah anak-anak selalu bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan, yang karena telah menganugerahkan ayah dan ibu kepada mereka. Anak-anak juga diharap berterimakasih, menghormati dan menghargai ayah dan ibu, sebagai wakil Tuhan di rumah mereka.

Anak-anak diharap menyadari dan mengakui bahwa keluarga mereka merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama. Ayah dan ibu adalah pendidik mereka yang pertama dan utama. Para guru dan para pembina lain di luar rumah tidak menggantikan peran ayah dan ibu. Mereka melengkapi peran ayah dan ibu itu.


PENUTUP

Nota Pastoral Keuskupan Agung Semarang Tahun 2007 ini tidak dimaksudkan sebagai bahan sarasehan atau diskusi, melainkan sebagai titik tolak penyusunan kebijakan-kebijakan strategis dan program-program konkrit untuk mendampingi keluarga-keluarga.

Dewan Paroki, di bawah kepemimpinan pastor paroki, diharap membuat kebijakan-kebijakan strategis dalam hal pendampingan keluarga di seluruh wilayah parokinya. Ujung tombak penerapan konkrit dari kebijakan tersebut dapat dipercayakan kepada Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki (TKPKP) dan kelompok-kelompok yang lain.

Berdasarkan kebijakan-kebijakan strategis yang disusun oleh Dewan Paroki tersebut, Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki (TKPKP) diharap membuat program-program konkrit, yang meliputi: persiapan perkawinan, dalam tiga tahap yang berkelanjutan; pendampingan umum bagi keluarga-keluarga dalam keadaan biasa, melalui tiga cara berbeda (yakni kunjungan-pribadi di rumah, saling-mendampingi dalam paguyuban-keluarga, dan pengayaan-keluarga dalam kelompok besar); dan pendampingan khusus bagi keluarga-keluarga yang sedang berada dalam keadaan khusus.

Pelaksanaan dari program-program konkrit tersebut, tentu saja, dapat dipercayakan kepada kelompok-kelompok umat tertentu, misalnya kelompok-kelompok peduli keluarga seperti Marriage Encounter (ME), Couples For Christ (CFC), gerakan-gerakan Pro-life, Jaringan Mitra Perempuan (JMP), Forum Refleksi Gender (FRG), Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Ibu-Ibu Paroki, lembaga-lembaga bantuan hukum, dan sebagainya.

DOA UNTUK KELUARGA

Bapa di sorga,

Engkau telah menciptakan

dan menyatukan pria dan wanita,

agar keduanya menjadi satu pasangan tak-terpisahkan,

dan bersama-sama membentuk satu keluarga.

Bapa, sumber hidup dan kasih sejati,

melalui Putra-Mu Yesus Kristus,

Yang lahir dan bertumbuh

dalam Keluarga Kudus Nasaret,

berikanlah bantuan-Mu

kepada setiap keluarga di bumi ini,

agar ia dapat menjadi kenisah hidup dan kasih sejati,

bagi generasi saat ini dan generasi yang akan datang.

Semoga rahmat-Mu membimbing

semua pasangan para suami-istri,

agar mereka saling menyayangi

dengan kasih yang penuh dan setia,

mampu mengatasi segala godaan dan cobaan,

dan dengan demikian mampu

membangun keluarga yang sejahtera.

Bantulah pula semua orang muda,

supaya mereka menemukan

dalam keluarga mereka dukungan yang kuat

bagi pertumbuhan mereka sebagai manusia,

sehingga mereka berkembang

dalam keutamaan manusiawi dan kristiani.

Tolonglah Gereja-Mu di bumi ini,

dengan bantuan Tuhan Yesus,

Bunda Maria, dan Bapa Yosef,

agar ia mampu menunaikan tugas perutusannya,

untuk dan melalui keluarga-keluarga.

Semua ini kami mohon kepada-Mu,

dengan perantaraan Kristus, Tuhan kami,

yang adalah Jalan, Kebenaran, dan Hidup,

kini dan sepanjang segala masa. Amin.

(disadur dari doa Paus Yohanes Paulus II bagi keluarga-keluarga)

DOA KELUARGA

Tuhan Yesus,

bunda Maria, dan bapa Yosef,

Terangilah kami, lindungilah kami,

selamatkanlah kami.

Tuhan Yesus,

bunda Maria, dan bapa Yosef,

Kepadamu kami serahkan

hati, jiwa, dan hidup kami.

Tuhan Yesus,

bunda Maria, dan bapa Yosef,

Semoga jiwa kami tenang dan tentram,

setenang dan setentram hatimu.

Tuhan Yesus,

bunda Maria, dan bapa Yosef,

terjadilah pada keluarga kami kehendak Allah,

Yang Maha-adil dan Maha-bijaksana,

sekarang dan sepanjang abad.

Amin.

BAHAN-BAHAN PENDALAMAN TENTANG HIDUP BERKELUARGA

A. YANG DITERBITKAN KOMISI

PENDAMPINGAN KELUARGA KAS:

1. Pendampingan Keluarga di Paroki Kita

2. Keluarga-Keluarga Katolik Memahami Ajaran Iman

dan Moral

3. Keluarga Katolik Memahami Hukum Gereja

4. Suami-Istri Katolik Memahami Panggilan dan Perutusannya

5. Perkawinan Menurut Kehendak Tuhan

6. Pendidikan Anak dalam Keluarga

7. Pendidikan Anak di Rumah di Bidang Iman

8. Pendidikan Anak di Rumah di Bidang Seksualitas

9. Perlindungan Anak

10. Memelihara Kesehatan Dalam Keluarga

B. YANG TELAH DITERBITKAN

PENERBIT KANISIUS:

1. Perkawinan Menurut Tradisi Katolik

2. Perkawinan Menurut Islam dan Katolik

3. Surat untuk Suami-Istri Katolik

4. Amanat Apostolik “Familiaris Consortio”

5. Mengarungi Hidup Berkeluarga

6. Duabelas Pola Keluarga Beriman

7. Dalam Untung dan Malang

8. Keluarga Kristiani: Kabar Gembira bagi Milenium Ketiga

9. Menjadi Keluarga Katolik Sejati

10. Doa-Doa Harian Keluarga Kristiani