Monday 5 March 2007

KK02 Memahami Ajaran Iman Dan Moral

PENGANTAR

Kita, orang katolik, percaya bahwa kita diselamatkan karena iman kepada Kristus. Mungkin kita sudah berani mengakui bahwa kita adalah pengikut Kristus. Sebagian dari kita barangkali bahkan siap menderita untuk membela iman kita. Sayang, iman kita seringkali berhenti pada taraf pengakuan yang mantap, tanpa pemahaman yang memadai. Akibatnya, kita sering merasa malu saat kita tidak mampu menjawab pertanyaan orang tentang hal-hal yang kita percayai itu. Karena itu, kiranya baik dan bergunalah kalau kita meningkatkan pemahaman kita tentang iman kita.

Iman adalah jawaban atas wahyu Allah. Padahal, wahyu Allah itu terutama tersimpan di dalam Kitab Suci. Maka, alat terbaik bagi kita untuk memahami hal-hal yang kita imani adalah Kitab Suci. Di sanalah wahyu Allah dirumuskan, diungkapkan, dan diwartakan oleh para penulis suci.

Selanjutnya, perlu kita sadari, bahwa wahyu Allah dalam Kitab Suci itu sudah dipelajari, ditafsirkan, dan diajarkan oleh pimpinan gereja. Karena itu, dengan mempelajari ajaran-ajaran pimpinan gereja, kita akan lebih mampu memahami iman kita, tanpa kawatir bahwa pemahaman kita itu keliru.

Penyusun

I. ALLAH TRITUNGGAL

Menurut Kitab Perjanjian Lama, Allah adalah Pencipta dunia. Beliau adalah Roh, yang pada suatu saat menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia ini dalam keadaan yang baik dan teratur, secara bertahap (Kej 1-2).

Kitab Perjanjian Lama juga menegaskan bahwa Allah itu tidak hanya mencipta, melainkan juga menghakimi dengan adil dan menyelamatkan dengan penuh kasih. Sebagai Hakim, beliau menghukum mereka yang berdosa (Kej 3-11), sedang sebagai Penyelamat, beliau menjanjikan dan mengusahakan keselamatan (Kej 12 dst..).

Menurut Kitab Perjanjian Lama, Allah tidak hanya berkarya, melainkan juga bersabda. Beliau semula bersabda melalui leluhur umat Israel (seperti Abraham, Ishak, dan Yakub), kemudian melalui para nabi (seperti Musa, Nathan, Elia, dan seterusnya), para hakim (seperti Yosua, Samuel, dan Simson), dan para raja (seperti Saul, Daud, dan Salomo).

Seperti Kitab Perjanjian Lama, Kitab Perjanjian Baru menegaskan bahwa Allah itu hanyalah satu. Menurut Injil Markus, misalnya, Tuhan Yesus menegaskan dengan jelas bahwa Allah itu esa (Mrk 12:29).

Namun, agak berbeda dari Kitab Perjanjian Baru, Kitab Perjanjian Baru mengajarkan bahwa Allah itu Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Yesus menyebut Allah sebagai BapaNya (Yoh 14:1-3). Namun, beliau juga menegaskan bahwa antara Bapa dan Putra ada kesatuan yang sangat erat. Bahkan, Yesus dan BapaNya di sorga itu adalah satu (Yoh 10:30). Maka, barangsiapa melihat beliau, ia melihat BapaNya juga (Yoh 14:9).

Selain memberikan kesaksian tentang Bapa dan Putra, Kitab Perjanjian Baru juga memberikan cukup banyak penjelasan tentang Roh Kudus. Keempat Injil sangat menekankan peranan Roh Kudus dalam hidup dan karya Yesus. Sementara itu, kitab Kisah Para Rasul lebih menekankan peran Roh Kudus dalam hidup umat kristen.

Dalam konsili di Nicea pada tahun 325, pimpinan Gereja menegaskan bahwa Yesus itu “sehakikat dengan Bapa”. Kemudian, dalam konsili di Konstantinopel, pada tahun 381, pimpinan Gereja menegaskan bahwa Roh Kudus itu layak “disembah dan dimuliakan, beserta Bapa dan Putra”.

Sejak abad ke-5, Allah sudah biasa diperkenalkan dalam rumusan yang singkat, sebagai “Allah yang satu, tetapi tiga pribadi”. Sayang, tidak dijelaskan secara tuntas, apa yang dimaksud dengan “pribadi” pada rumusan itu.

Bagaimanapun perlu diakui, sebagian besar dari hakikat Allah tetaplah merupakan rahasia bagi umat manusia. Kepercayaan kita akan Allah Tritunggal kita dasarkan pada kepercayaan kita kepada Yesus. Karena kita percaya kepada beliau, kita percaya kepada ajaranNya, juga tentang Allah yang “Tri-tunggal” itu.

II. WAHYU ALLAH

Kitab Perjanjian Lama mengajarkan bahwa Allah telah mewahyukan diriNya sebagai Pencipta dunia dan Hakim serta Penyelamat umat manusia. Beliau adalah Allah yang berkarya dan bersabda.

Pewahyuan Allah itu antara lain dikisahkan dalam kitab Keluaran. Di sana ditegaskan, misalnya, bahwa Allah sering kali mewahyukan diriNya sambil “berhadapan muka” dengan nabi Musa (Kel 33).

Menurut para ahli Kitab Suci Perjanjian Lama, beberapa waktu setelah mengenal dan mengakui Allah sebagai Penyelamat mereka, barulah umat Israel sadar, bahwa Penyelamat mereka itu adalah juga Allah Pencipta, yang telah menciptakan dunia beserta isinya (Kej 1-2).

Berbeda dari Kitab Perjanjian Lama, Kitab Perjanjian Baru menegaskan bahwa Allah yang semula mewahyukan diriNya melalui para leluhur dan tokoh-tokoh Israel itu akhirnya mewahyukan diriNya melalui PutraNya sendiri, yang menjelma dalam diri Yesus (Ibr 1).

Keempat Injil menegaskan bahwa Bapa di sorga bersabda dan berkarya melalui Yesus, PutraNya. Karya-karya Yesus adalah karya-karya Bapa. Sabda-sabda Yesus adalah sabda-sabda Bapa. Yesus merupakan puncak pewahyuan Diri Allah. Maka dapat dikatakan, sekurang-kurangnya dalam arti tertentu, bahwa Yesus menampakkan Allah.

Para pemimpin Gereja menegaskan bahwa wahyu Allah itu kemudian dirumuskan dan diwartakan melalui Kitab Suci. Pada tahun 405, misalnya, Paus Innocensius I mengajarkan bahwa seluruh Kitab Suci memuat wahyu Allah.

Selanjutnya, dalam konsili di Konstantinopel II, pada tahun 553, para pemimpin Gereja mengajarkan, bahwa wahyu Allah tidak hanya diteruskan melalui Kitab Suci, melainkan juga melalui Tradisi Suci, yang diwariskan oleh para pemimpin Gereja dari satu generasi ke generasi yang berikutnya, selama berabad-abad, selama hidup Gereja.

Dalam konsili di Trente pada tahun 1546, para pemimpin Gereja katolik menegaskan bahwa umat katolik wajib menyelaraskan pemahaman mereka tentang wahyu Allah dengan penafsiran para pemimpin Gereja.

Dalam konsili Vatikan ke-II, yang berlangsung pada tahun 1962-1965, pimpinan Gereja katolik menyampaikan ajaran-ajaran berikut tentang wahyu Allah: pimpinan Gereja katolik yakin, bahwa para rasul telah menetapkan uskup-uskup menjadi pengganti mereka dan menyerahkan kedudukan mereka sebagai pengajar, agar wahyu Allah senantiasa terpelihara di dalam Gereja secara utuh dan secara hidup (DV 7); para uskup tidaklah bertugas dan berwenang mengajarkan sesuatu yang baru, yang berbeda atau bertentangan dengan wahyu Allah dalam Kitab Suci, melainkan untuk memelihara, menjelaskan, dan menyebarkan sabda Allah yang tersimpan di dalam Kitab Suci itu, dengan setia, dalam terang Roh Kudus (DV 9).

III. YESUS, PUNCAK PEWAHYUAN

Masa kanak-kanak Yesus hanyalah diceritakan dalam Injil Matius (Mat 1-2) dan Injil Lukas (Luk 1-2). Kisah-kisah dalam Injil Matius (Mat 1-2) menekankan bahwa Yesus itu, sejak kecil, ditolak oleh bangsaNya sendiri, namun diterima oleh bangsa-bangsa lain. Sementara itu, kisah-kisah dalam Injil Lukas (Luk 1-2) menekankan bahwa Yesus itu sesungguhnya seorang Raja Agung, seperti Daud, leluhurNya, meskipun beliau lahir di tempat yang sangat sederhana. Seperti Daud, Yesus juga lahir di Betlehem, di lingkungan para gembala.

Kisah tentang Yesus pada saat remaja hanya terdapat dalam Injil Lukas (Luk 2). Kisah-kisah itu tampaknya diceritakan untuk menegaskan bahwa sejak remaja Yesus sudah sadar akan perutusan penting, yang diterimaNya dari BapaNya di sorga.

Kitab Perjanjian Baru tidak memuat kisah hidup Yesus ketika beliau berusia 12 sampai 30 tahun. Hal itu menunjukkan, bahwa menurut umat kristen abad pertama periode tersebut tidaklah penting bagi iman kristiani.

Menurut Injil Lukas (Luk 3), Yesus barulah berkarya di depan umum sejak beliau berusia sekitar 30 tahun. Barangkali karya beliau di depan umum itu pun hanya berlangsung selama 3 tahun saja. Karya-karya Yesus di depan umum itu diringkas dalam Injil Matius dalam rumusan berikut : “Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; beliau ... memberitakan Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan” (Mat 9).

Sementara itu, sabda-sabda Yesus selama berkarya di depan umum itu terutama termuat dalam Injil Matius dan Injil Yohanes. Dalam Injil Matius, sabda-sabda itu dikumpulkan dalam lima kotbah. Kotbah yang pertama (Mat 5-7) dan kotbah yang terakhir (Mat 24-25) lebih panjang, sedang ketiga kotbah lainnya (Mat 10, Mat 13, dan Mat 18) jauh lebih pendek. Di antara lima kotbah tersebut, kotbah yang pertama biasa dianggap sebagai kotbah yang terpenting. Kotbah itu terkenal dengan sebutan Kotbah di Bukit.

Hidup Yesus sebagai manusia diakhiri dengan penyiksaan, wafat, kebangkitan, penampakan, dan kenaikan ke sorga. Di mata para rasul dan para muridNya, akhir hidup beliau itu tampaknya demikian bermakna, sehingga kisah-kisah tentangnya termuat dalam semua Injil.

Meskipun sejak abad-abad pertama umat kristen sudah mengakui bahwa Yesus menyelamatkan dunia dengan wafatNya, isi dari pengakuan iman itu barulah dirumuskan secara lebih rinci pada abad-abad pertengahan.

Menghadapi aliran modernis, yang berpendapat bahwa Yesus telah berbuat keliru dalam beberapa nubuat dan ajaranNya, Paus Pius X dengan sangat tegas menentang pandangan modernis tersebut.

IV. IMAN, TANGGAPAN ATAS WAHYU

Dalam Kitab Perjanjian Lama, salah satu tokoh yang dipandang sebagai teladan orang-orang beriman adalah Abraham. Leluhur umat Perjanjian Lama itu sungguh beriman kepada Allah. Ia percaya kepadaNya (Kej 15), dan taat sepenuhnya kepadaNya, bahkan ketika Allah menyampaikan perintah yang sulit dipahaminya (Kej 22).

Para nabi Perjanjian Lama, secara terus-menerus, berusaha menumbuhkan iman di lingkungan umat Israel, baik di wilayah Utara maupun di wilayah Selatan. Para hamba Tuhan itu menegaskan bahwa umat Israel bisa sejahtera, bila mereka sungguh beriman kepada Allah, juga ketika kerajaan mereka hancur. Para nabi juga menubuatkan, bahwa Allah akan mengutus seorang Juru Selamat, baik bagi umat Israel maupun bagi bangsa-bangsa lain.

Berbeda dari Kitab Perjanjian Lama, Kitab Perjanjian Baru menegaskan bahwa Juru Selamat yang dinubuatkan oleh para nabi itu telah datang ke dunia, yakni dalam diri Yesus dari Nasaret. Maka, beriman kepada Allah berarti beriman kepada Yesus.

Sejak abad kedua Masehi, orang-orang kristen biasa mengucapkan Syahadat Iman singkat, yang menegaskan bahwa mereka itu percaya pada : Allah, Bapa yang mahakuasa; Yesus Kristus, Putra Tunggal Allah; Roh Kudus; Gereja kudus; dan kebangkitan badan. Kemudian, rumusan Syahadat Iman tersebut berkembang terus, secara bertahap, selama beberapa abad.

Pada tahun 1846, Paus Pius XI menerbitkan sebuah ensiklik yang menegaskan beberapa hal penting berikut : iman tidaklah bertentangan dengan akal, meskipun ia juga mengatasi akal; imanlah yang dijadikan dasar oleh Allah untuk menyelamatkan manusia.

Pada tahun 1870, dalam konsili Vatikan ke-I, para pemimpin Gereja katolik mengajarkan hal-hal berikut : dalam beriman, kita harus menundukkan akal dan kehendak kita pada wahyu Allah; iman merupakan titik tolak dari keselamatan.

Akhirnya, dalam Konsili Vatikan ke-II pimpinan Gereja katolik menegaskan bahwa : iman merupakan tanggapan positif manusia terhadap Allah, yang telah mewahyukan diriNya; tanggapan positif itu terutama berarti menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, yakni dengan mempersembahkan kepatuhan akalbudi dan kehendak kepada Allah (DV 5).

Supaya dapat beriman, manusia membutuhkan rahmat ilahi, yang menolongnya sedemikian rupa, sehingga hatinya tergerak dan terarah kepada Allah (DV 5) ; orang-orang beriman tidak dipanggil menuju keselamatan secara individual, melainkan sebagai warga dari umat beriman (LG 9).

V. GEREJA, PAGUYUBAN UMAT BERIMAN

Kitab Perjanjian Lama melihat bangsa Israel sebagai Umat Allah. Bangsa itu disebut Umat Allah karena dipanggil dan dipilih oleh Allah sendiri (Kel 19). Antara umat Israel dan Allah itu ada suatu perjanjian. Isinya : umat Israel hanya akan menyembah Allah, dan Allah akan memberikan damai sejahtera kepada umat Israel.

Menurut Kitab Perjanjian Baru, perjanjian yang lama itu telah diperbarui oleh Allah. Perjanjian yang baru itu merupakan perjanjian antara Kristus dan umat yang percaya kepadaNya. Perjanjian yang baru itu lebih unggul daripada perjanjian yang lama (Ibr 8). Dari perjanjian yang baru itu muncullah Umat Allah yang baru, yakni umat kristen.

Kristus begitu mengasihi umatNya. Karena itu Kristus dapat disebut sebagai Mempelai Gereja (Ef 5), sedang Gereja dapat disebut sebagai mempelai Kristus.

Paguyuban iman yang baru itu disebut Gereja, dan dipimpin oleh Kristus. Karena itu, Kristus dapat disebut Kepala Gereja, sedang Gereja dapat disebut tubuh Kristus (Ef 1 dan Kol 1).

Meskipun secara rohaniah ia sebenarnya dipimpin oleh Kristus sendiri, secara lahiriah Gereja di dunia ini toh dipimpin oleh Petrus, yang telah diutus oleh Kristus sendiri untuk memimpin Gereja (Mat 16) dan menggembalakan domba-dombaNya (Yoh 21).

Sejak abad ke-4, umat kristen biasa mengakui dalam Syahadat Iman bahwa Gereja bersifat satu, kudus, katolik, dan apostolik.

Pada tahun 417, Paus Innocensius I menulis dalam suratnya kepada para uskup di Afrika bahwa Paus, sebagai pengganti Petrus, memiliki wewenang untuk memimpin seluruh Gereja dan untuk menilai ketepatan isi dan rumusan dari ajaran-ajaran iman.

Pada tahun 1863, Paus Pius IX menegaskan bahwa Allah menyelamatkan umat kristen karena iman mereka kepada Kristus. Meskipun demikian, pimpinan Gereja katolik itu juga menegaskan bahwa melalui rahmatNya Allah toh dapat menyelamatkan orang-orang yang tidak sempat mengenal Kristus, bila beliau menghendakinya.

Pada tahun 1870, dalam konsili Vatikan ke-I, para pemimpin Gereja katolik menegaskan bahwa Paus berhak merumuskan ajaran tentang iman dan moral sampai ke tingkat “tidak dapat salah”.

Pada tahun 1964, dalam konsili Vatikan ke-II, para pemimpin Gereja katolik menegaskan bahwa Gereja merupakan “tanda dan sarana kesatuan manusia dengan Allah dan sesama”.

VI. KESELAMATAN, BUAH DARI IMAN

Kitab Perjanjian Lama sangat sering berbicara tentang keselamatan, atau damai sejahtera. Keadaan yang dinilai damai sejahtera itu tergambarkan misalnya dalam kitab Imamat (Im 26) dan kitab Mazmur (Mzm 72). Intinya : keselamatan berarti keadaan berdamai dengan Allah, sesama, dan seluruh alam semesta.

Menurut Kitab Perjanjian Baru, keselamatan itu punya dimensi fisik, moral, sosial, dan religius (Why 21-22). Seperti dalam Kitab Perjanjian Lama, dalam Kitab Perjanjian Baru juga ditegaskan bahwa keselamatan itu bersumber pada Allah. Karena itu, Allah sering disebut Allah Keselamatan (1 Tes 5; 2 Kor 13; Rm 15; Flp 4; Ibr 13).

Menurut Injil Lukas, Tuhan Yesus adalah proklamator keselamatan ilahi (Luk 6; 10) dan sekaligus pelaksana keselamatan itu (Luk 1). Keselamatan yang dimaklumkan dalam Injil Lukas itu mempunyai dimensi duniawi, misalnya dalam wujud kesembuhan dari sakit (Luk 7-8; 10). Meskipun demikian, keselamatan ilahi yang penuh melampaui perwujudannya yang duniawi itu (Luk 6).

Berhubungan dengan wujud dari keselamatan, dalam Kitab Perjanjian Baru tekanan lebih diletakkan pada segi religius, sementara dalam Kitab Perjanjian Lama tekanan seringkali lebih diletakkan pada segi sosio-ekonomis.

Berdasarkan ajaran dalam Kitab Perjanjian Baru, para pemimpin Gereja menegaskan bahwa semua orang dipanggil menuju keselamatan ilahi dengan perantaraan Kristus.

Dalam konsili di Nicea pada tahun 325 mereka mengajarkan bahwa “demi keselamatan kita, umat manusia, Tuhan Yesus Kristus telah turun ke dunia, menjadi manusia, menderita, dan bangkit pada hari ketiga”.

Dalam konsili Trente, melalui ajaran resmi tentang Ekaristi, yang ditegaskan pada tahun 1562, diajarkan bahwa Tuhan Yesus Kristus “satu kali dan untuk selamanya mempersembahkan DiriNya kepada Allah Bapa melalui wafatNya di atas altar salib, untuk melaksanakan penebusan abadi bagi umat manusia”.

Pada tahun 1975, dalam ensikliknya yang berjudul “Evangelii Nuntiandi”, Paus Paulus VI antara lain mengajarkan hal bahwa “sebagai inti dan pusat dari kabar gembiraNya, Kristus mewartakan keselamatan, anugerah agung Allah, yakni pembebasan dari segala sesuatu yang menindas manusia, tetapi terutama pembebasan dari dosa dan kejahatan ... Semua itu diawali selama hidupNya, dan secara definitif dilaksanakan dengan wafat dan kebangkitanNya. Tetapi hal itu harus diteruskan dengan sabar dalam seluruh sejarah, sampai terpenuhi secara sempurna pada hari kedatangan Kristus kembali, yang saatnya tidak diketahui siapapun selain Bapa“.

VII. BERKAT DAN RAHMAT

Menurut Kitab Perjanjian Lama, yang dapat memberi berkat pertama-tama adalah Allah (Kej 1). Meskipun demikian, mewakili Allah, seorang ayah juga dapat memberikan berkat, terutama kepada anak-anak lelakinya. Hal itu dilakukan misalnya oleh Ishak (Kej 27) dan Yakub (Kej 48-49). Biasanya berkat itu diucapkan secara lisan dan berisi harapan tentang hal-hal yang bernilai.

Menurut Kitab Perjanjian Baru, yang dapat memberi berkat pertama-tama juga Allah. Maka Yesus, sebagai manusia, disebut “Yang Terberkati” (Luk 1). Tetapi, setelah dewasa, Yesus pun memberi berkat, misalnya untuk anak-anak (Mrk 10) atau untuk para rasul (Luk 24). Yesus bahkan juga memberkati roti, misalnya sebelum dipergandakan bagi orang banyak (Mat 14) atau dibagikan kepada para rasul (Mat 26).

Berbeda dari berkat, rahmat hanyalah dapat diberikan oleh Allah. Menurut Paulus, rahmat ilahi itu lebih berharga daripada hukum Taurat (Rm 6). Hukum Taurat hanya memberitahukan kebaikan, sedang rahmat ilahi juga memberi kemampuan untuk melakukan kebaikan.

Dalam sejarah Gereja, wewenang untuk memberikan berkat dipercayakan kepada pemimpin jemaat. Berkat tersebut dapat diberikan kepada seluruh jemaat atau hanya kepada anggota tertentu dari jemaat. Berkat itu mengungkapkan harapan pemimpin jemaat, bahwa kepada warga umat yang layak menerimanya Allah akan meng-anugerahkan buah-buah dari karya penyelamatan, yang telah dilaksanakan oleh Tuhan Yesus.

Ajaran Kitab Suci tentang rahmat diteruskan dan dikembangkan oleh Gereja sepanjang sejarahnya.

Menanggapi pandangan salah dari aliran Pelagianisme, yang berpendapat bahwa orang-orang beriman dapat selamat dengan usaha-usaha manusiawi mereka sendiri, pimpinan Gereja pada abad ke-5 menegaskan, bahwa seseorang hanya dapat selamat dengan bantuan rahmat ilahi. Untuk dapat beriman kepada Tuhan Yesus, misalnya, orang lebih dahulu membutuhkan rahmat dari Allah. Tentu saja rahmat tersebut tidak menghilangkan kebebasan manusiawi, melainkan membimbingnya ke arah kebaikan dan kebenaran.

Menanggapi pandangan para perintis Gereja-Gereja reformasi, yang kurang menilai penting peranan usaha manusia dalam mencapai keselamatan, pimpinan Gereja katolik pada pertengahan abad ke-16 menekankan bahwa orang beriman diselamatkan bukan hanya karena rahmat ilahi melainkan juga karena usaha-usahanya yang baik. Ajaran gereja tersebut antara lain ditegaskan dalam Konsili di Trente pada pertengahan abad ke-16.

Selanjutnya, pimpinan Gereja katolik mengajarkan, bahwa umat beriman dapat memperoleh rahmat Allah dengan berbagai cara, antara lain melalui sakramen-sakramen.

VIII. SAKRAMEN BAPTIS

Sebagai bagian dari masyarakat Timur Tengah kuno, umat Perjanjian Lama menjunjung tinggi makna air dalam hidup mereka. Maka air dapat menjadi simbol kesucian.

Nabi Yehezkiel, misalnya, menjadikan pembersihan seseorang dengan air sebagai lambang pencurahan roh Allah.

Sebelum memulai karyaNya, Yesus meminta kepada Yohanes Pembaptis untuk membaptisNya, walaupun Yohanes Pembaptis merasa dirinya tidak pantas untuk itu (Mat 3). Beliau juga menegaskan, hanya bila orang “lahir kembali” dari air dan Roh, ia masuk ke dalam Kerajaan Allah (Yoh 3).

Setelah bangkit dari kematian, sebelum naik ke sorga, Yesus memberi tugas kepada para muridNya untuk mempertobatkan orang dan membaptis mereka (Mat 28). Karena itulah, para rasul membaptis secara besar-besaran dan meriah pada hari Pentakosta (Kis 2).

Melalui konsili lokal di Elvira, Spanyol, yang diselenggarakan pada tahun 300-303, pimpinan Gereja menegaskan bahwa seorang katekumen yang berada di dalam bahaya mati boleh dibaptis oleh siapapun. Kemudian, dalam suratnya kepada Himerius, uskup di Tarragona, Paus Siricius pada tahun 385 menegaskan bahwa anak-anak, bahkan bayi yang belum berbicara, boleh dibaptis.

Pada konsili lokal ke-16 di Karthago, yang diselenggarakan pada tahun 418, para pemimpin Gereja menegaskan bahwa pembaptisan benar-benar menghapus semua dosa, termasuk dosa asal.

Pada tahun 1439, dalam konsili di Florence, pimpinan Gereja menegaskan hal-hal penting berikut : pembaptisan merupakan sakramen pertama; melalui sakramen baptis, seseorang menjadi anggota Kristus dan menjadi sebagian dari tubuh Kristus, yakni Gereja; bahan sakramen baptis adalah air; dalam pembaptisan seseorang, haruslah disebutkan bahwa ia dibaptis dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus; dalam keadaan biasa, orang harus dibaptis oleh seorang imam atau diakon, tetapi dalam keadaan darurat, orang boleh dibaptis oleh siapapun; buah sakramen baptis adalah pembebasan dari semua dosa, termasuk dosa asal, dan pembebasan dari semua hukuman dosa.

Pada tahun 1547, dalam konsili di Trente, para pemimpin Gereja katolik menegaskan bahwa pembaptisan itu sungguh perlu demi keselamatan abadi.

Pada tahun 1962-1965, dalam konsili Vatikan II, para pemimpin Gereja katolik menegaskan adanya hubungan erat antara sakramen baptis dan sakramen penguatan serta sakramen Ekaristi.

IX. SAKRAMEN PENGUATAN

Tampaknya hanya ada satu kutipan Kitab Suci yang mungkin dapat dihubungkan dengan sakramen penguatan, yakni kutipan dari kitab Kisah Para Rasul pasal 8 ayat 14-17 yang berbunyi sebagai berikut : “Ketika rasul-rasul di Yerusalem mendengar bahwa tanah Samaria telah menerima firman Allah, mereka mengutus Petrus dan Yohanes ke sana. Setibanya di sana kedua rasul itu berdoa, supaya orang-orang Samaria itu beroleh Roh Kudus. Sebab Roh Kudus belum turun di atas seorangpun di antara mereka, karena mereka hanya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Kemudian keduanya menumpangkan tangan di atas mereka, lalu mereka menerima Roh Kudus”.

Kutipan di atas memberi kesan adanya dua tahap dalam upacara inisiasi kristen, yakni pembaptisan dengan air dan penguatan dengan penumpangan tangan.

Pada tahun 416 Paus Innocentius I menegaskan bahwa pembaptisan oleh imam biasa haruslah dibedakan dari penguatan oleh seorang uskup.

Selanjutnya, penjelasan yang rinci tentang sakramen penguatan barulah diberikan oleh para pemimpin Gereja pada konsili di Florence pada tahun 1439, yang antara lain mengajarkan hal-hal berikut : bahan yang dipakai dalam sakramen penguatan adalah minyak, yang melambangkan kemurnian hati nurani, yang dicampur dengan balsam, lambang dari keharuman nama baik; minyak khrisma tersebut harus sudah diberkati oleh uskup; pelayan sakramen penguatan dalam keadaan biasa adalah uskup, pengganti rasul; sakramen penguatan diberikan dengan penumpangan tangan; dalam kondisi mendesak, sakramen penguatan juga boleh diberikan oleh seorang imam, asal minyak khrisma yang digunakannya sudah diberkati oleh uskup; buah dari sakramen penguatan adalah pemberian Roh Kudus yang menguatkan, seperti Roh Kudus yang dicurahkan kepada para rasul pada hari Pentekosta, yang menguatkan hati mereka.

Pada tahun 1946 Paus Pius XII mengajarkan hal-hal berikut: dalam keadaan darurat, misalnya ketika seorang beriman sedang berada dalam bahaya mati, imam-imam tertentu boleh memberikan sakramen penguatan kepadanya, bila tidak ada uskup yang dapat segera dihubungi; imam-imam yang diberi wewenang khusus tersebut antara lain adalah para pastor kepala di paroki-paroki.

Pada tahun 1963, dalam konsili Vatikan II, para pemimpin Gereja katolik menegaskan bahwa perayaan sakramen penguatan perlu ditinjau kembali supaya tampak lebih jelas hubungannya yang erat dengan sakramen baptis dan sakramen Ekaristi.

Pada tahun 1971 Paus Paulus VI mengajarkan bahwa imam manapun boleh memberikan sakramen penguatan bagi orang beriman yang sedang berada dalam keadaan darurat, bila saat itu uskup dan imam-imam yang punya wewenang khusus sulit dihubungi.

X. SAKRAMEN EKARISTI

Pada saat Tuhan Yesus hidup dan berkarya, keluarga-keluarga Yahudi punya kebiasaan untuk mengadakan perjamuan bersama, dalam semangat iman kepada Allah, untuk mempersatukan anggota keluarga satu sama lain, sekaligus untuk mempersatukan keluarga dengan Allah, Juruselamat umat Israel.

Bersama-sama dengan para rasulNya, Yesus tampaknya seringkali melakukan perjamuan seperti itu. Hal itu juga dilakukanNya satu hari menjelang sengsara dan wafatNya. Yang unik, pada acara itu Yesus tampaknya menyelipkan dua acara yang khas. Menurut Injil Yohanes, sebelum perjamuan, beliau membasuh kaki para rasul, sebagai tanda kasih pelayananNya bagi mereka (Yoh 13). Dan menurut ketiga Injil yang lain, beliau mengubah roti menjadi tubuhNya, dan air anggur menjadi darahNya.

Hal-hal yang dikisahkan dalam ketiga Injil sinoptik tersebut juga terungkap dalam surat pertama santo Paulus kepada umat Korintus (11:23-25). Selain itu, santo Paulus menulis: “Setiap kali kamu makan roti ini dan minum dari cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang” (1 Kor 11:26).

Pada tahun 1079, dalam konsili di Roma, pimpinan Gereja menegaskan bahwa dalam perjamuan Ekaristi roti dan anggur diubah menjadi tubuh dan darah Kristus. Selanjutnya, pada tahun 1208, Paus Innocentius III menegaskan : hanyalah oleh para imam dan dalam perayaan Ekaristi roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus. Perubahan itu terjadi melalui proses “trans-substansiasi”.

Pada tahun 1415, dalam konsili di Constance, pimpinan Gereja menolak pendapat baru, bahwa dalam perayaan Ekaristi umat hanya menerima Kristus bila mereka menerimaNya dalam dua rupa, yakni roti dan anggur.

Pada tahun 1439, dalam konsili di Florence, pimpinan Gereja menegaskan, bahwa roti untuk Ekaristi boleh beragi maupun tidak beragi, asal di-konsekrir oleh para imam dalam perayaan Ekaristi yang sah.

Pada pertengahan abad ke-16, para perintis Gereja reformasi mengajarkan bahwa Kristus hanya hadir dalam perjamuan Ekaristi pada saat roti dan air anggur itu disantap oleh umat beriman. Menanggapi hal itu, para uskup yang berkumpul dalam konsili di Trente mengajarkan, bahwa sesudah perjamuan Ekaristi pun roti tetap merupakan tubuh Kristus.

Pada tahun 1962-1965, dalam konsili Vatikan II, ditegaskan bahwa dalam perayaan Ekaristi “Kristus disantap, jiwa dipenuhi rahmat, dan umat diberi jaminan kemuliaan kelak” (SC 47). Selain itu, juga diingatkan bahwa “pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Korban Ekaristi Tubuh dan DarahNya” (SC 47).

XI. SAKRAMEN REKONSILIASI

Para penulis kitab-kitab Perjanjian Lama sangat sering berbicara tentang pertobatan umat Israel. Pertobatan itu antara lain diungkapkan secara lahiriah dalam ibadat tobat. Pada kesempatan tersebut, umat menyesali kedosaan mereka, mengakui dosa-dosa mereka, dan memohon pengampunan Allah bagi mereka, sekaligus memohon kepadaNya untuk melepaskan mereka dari hukuman dosa (Hak 2 dan Hak 20).

Para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru juga mengajarkan pentingnya pertobatan. Perumpamaan-perumpamaan dalam Injil Lukas 15, misalnya, dengan jelas mengungkapkan unsur-unsur penting dari pertobatan, yakni hal-hal berikut : kesesatan manusia yang berdosa; prakarsa Allah untuk mempertobatkan manusia; kesadaran-bersalah dan penyesalan dari pihak pendosa; pengakuan dosa; rencana dan niat yang kuat untuk berbalik kembali kepada Allah; pengampunan dari pihak Allah; dan kegembiraan “sorga” atas pertobatan manusia.

Menurut para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru, Yesus tidak hanya mengampuni dosa, melainkan juga memberikan kuasa kepada para rasulNya untuk mengampuni dosa. Hal itu misalnya terungkap secara tegas dalam Injil Yohanes (pasal 20 ayat 22-23).

Pada tahun 452, Paus Leo I menegaskan bahwa pengampunan atas dosa-dosa orang beriman hanya boleh diberikan oleh para imam. Beberapa tahun kemudian, yakni pada tahun 459, pimpinan Gereja itu menegaskan bahwa para imam haruslah selalu merahasiakan dosa-dosa yang diakukan oleh umat beriman kepada mereka.

Dalam konsili Latheran yang ke-4, pada tahun 1215, para uskup memutuskan suatu hal yang penting : setiap orang beriman haruslah mengaku dosa dan menerima komuni sekurang-kurangnya setahun sekali.

Dalam konsili di Florence pada tahun 1439, para uskup menegaskan bahwa inti dari sakramen pertobatan terdiri dari : penyesalan batiniah (yang memuat niat yang kuat untuk tidak berdosa lagi); pengakuan dosa (secara lisan dan secara utuh); pengampunan dosa (yang disampaikan oleh imam yang punya wewenang); dan penitensi atau silih (sesuai dengan petunjuk imam, dan biasanya berbentuk doa, puasa, atau derma).

Dalam konsili Vatikan II, para uskup menyarankan dalam keputusan mereka tentang liturgi, pada tahun 1963, agar “upacara dan rumus untuk sakramen tobat ditinjau kembali sehingga hakikat dan buahnya terungkap secara lebih jelas” (SC 72). Mereka juga mendesak agar “praktik pertobatan makin digairahkan” (SC 110).

XII. SAKRAMEN ORANG SAKIT

Dalam Injil Markus dikisahkan bahwa suatu ketika “Yesus memanggil keduabelas murid ... dan mengutus mereka berdua-dua. Ia memberi mereka kuasa atas roh-roh jahat ... dan mereka mengusir banyak setan, dan mengoles banyak orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka” (Mrk 6:7.13).

Setelah kenaikan Yesus ke sorga, pengurapan orang sakit itu tampaknya tidak hanya dilakukan oleh para rasul. Dalam surat Yakobus, kita temukan nasihat pastoral yang berbunyi sebagai berikut : “Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh” (Yak 5:14-16).

Pada tahun 416, Paus Innocentius I menuliskan dalam suratnya kepada Decentius, uskup di Gubbio, bahwa orang beriman yang sedang sakit dapat diurapi dengan minyak suci, yang telah diberkati oleh Uskup. Dalam surat itu juga ditegaskan, bahwa pengurapan orang sakit itu dapat dilakukan baik oleh Uskup maupun oleh imam-imam biasa.

Pada tahun 1439, dalam Konsili di Florence, para pemimpin Gereja menegaskan hal-hal berikut : sakramen kelima adalah pengurapan terakhir; bahan yang dipakai untuk pengurapan itu adalah minyak zaitun yang telah diberkati oleh Uskup; pengurapan itu hanya boleh diberikan kepada seorang beriman yang berada dalam bahaya mati karena sakit keras; pelayan sakramen ini adalah imam biasa; buah dari sakramen ini adalah kesembuhan jiwa maupun badan.

Pada tahun 1551, dalam Konsili di Trente, para pemimpin Gereja katolik menegaskan hal-hal berikut : pengurapan terakhir atau sakramen pengurapan orang sakit hanya boleh diberikan oleh imam; bahan untuk mengurapi adalah minyak suci yang sudah diberkati oleh Uskup; buah-buah sakramen ini adalah rahmat Roh Kudus yang mendatangkan pengampunan dosa, menguatkan jiwa, dan menghasilkan kesembuhan badan bila hal itu berguna bagi keselamatan jiwa; yang boleh menerima sakramen ini adalah orang sakit, terutama yang berada dalam bahaya maut; sakramen ini boleh diterimakan kembali kepada orang yang sakitnya kambuh lagi.

Pada tahun 1963, dalam konsili Vatikan II, para Uskup menyampaikan pendapat bahwa istilah “pengurapan orang sakit” lebih tepat daripada istilah “pengurapan terakhir”. Mereka juga menegaskan bahwa “jumlah pengurapan hendaknya disesuaikan dengan keadaan” (SC 75).

XIII. SAKRAMEN TAHBISAN

Sebelum ada Bait Allah, umat Israel diperkirakan beribadat di berbagai tempat-ibadat lokal yang terpencar-pencar. Ibadat-ibadat itu mungkin dipimpin oleh imam-imam lokal, yang datang dari berbagai suku Israel. Barulah kemudian, sejak abad ke-10 SM, ibadat-ibadat di Bait Allah dipimpin oleh imam Zadok dan keturunannya (1 Rj 2).

Yesus hampir tidak pernah berbicara tentang imamat. Mungkin karena beliau kecewa atas perilaku para imam Yahudi. Meskipun demikian, sebagian dari penulis Kitab Perjanjian Baru toh mengenakan martabat atau fungsi imamat pada umat kristen (1 Pt 2; Why 1;5;20). Di sana umat kristen dilihat sebagai Israel Baru, dan seperti halnya Israel Lama, Israel Baru juga punya martabat dan fungsi imamat, yakni pengantara antara umat manusia dan Allah.

Dalam komunitas kristen abad pertama Masehi, fungsi kepemimpinan dalam jemaat itu tidak berada di tangan para imam, melainkan di tangan para rasul, para pengganti mereka, dan para pembantu mereka. Sejak abad ke-2, misalnya, pimpinan Gereja sudah menegaskan bahwa para rasul telah menunjuk para episkopoi dan diakonoi untuk memimpin dan melayani jemaat kristen.

Barulah kemudian, pada awal abad ke-13, Paus Innocentius III menegaskan bahwa perayaan Ekaristi hanya boleh dipimpin oleh imam-imam yang ditahbiskan secara sah oleh seorang Uskup.

Pada tahun 1439, para Uskup yang berkumpul dalam konsili Florence mengajarkan hal-hal berikut : sakramen keenam adalah sakramen tahbisan; pelayan sakramen tahbisan adalah seorang uskup; buah dari sakramen itu adalah rahmat yang membuat orang mampu menjadi pelayan Kristus.

Pada tahun 1563, para Uskup yang berkumpul dalam konsili Trente menanggapi pandangan para perintis Gereja reformasi dengan menegaskan hal-hal berikut : atas kehendak Kristus, dalam Gereja ada imamat baru yang menggantikan imamat yang lama; Kristus telah memberikan kuasa kepada para rasul dan para pengganti mereka untuk menguduskan, mempersembahkan, dan melayani tubuh dan darahNya; ada beberapa jenis dan tingkat tahbisan, seperti halnya Kitab Suci mengenal adanya rasul-rasul, nabi-nabi, para penginjil, para gembala, dan para pengajar; tahbisan benar-benar satu dari ketujuh sakramen, yang memberikan rahmat; para Uskup adalah para pengganti rasul dan punya wewenang yang lebih tinggi daripada para imam.

Pada tahun 1965, para Uskup yang berkumpul dalam konsili Vatikan II menegaskan bahwa Tuhan mengangkat beberapa orang di antara umat untuk menjadi pelayan, yang mempunyai kuasa tahbisan suci dan dengan demikian memperoleh imamat jabatan; dalam kesatuan dengan Uskup, para imam bertugas untuk membangun, menguduskan, dan membimbing umat kristen. Sakramen tahbisan dianugerahkan demi umat, bukan demi imam!

XIV. SAKRAMEN PERKAWINAN

Para penulis Kitab Perjanjian Lama pada umumnya melihat perkawinan sebagai urusan keluarga besar. Hal itu, misalnya terungkap dalam cerita-cerita tentang nenek-moyang Israel seperti Abraham, Ishak, dan Yakub. Di sana kelihatan, bahwa para orangtua mencarikan isteri bagi anak-anak lelaki mereka.

Agak berbeda dengan tradisi di atas, nabi Hosea merintis suatu pandangan baru tentang perkawinan. Dia melihat relasi antara suami dan isteri sebagai lambang dari relasi antara Yahwe dan umat Israel (Hos 1-2). Pandangan tersebut kemudian dilanjutkan oleh nabi Yesaya (Yes 1), nabi Yeremia (Yer 2-3), dan nabi Yehezkiel (Yeh 16).

Pandangan para nabi itulah yang tampaknya mendasari nasihat santo Paulus kepada para suami-isteri kristen, seperti misalnya terungkap dalam suratnya kepada umat Efesus. Suami dan istiri diharap saling mengasihi seperti Kristus mengasihi GerejaNya (Ef 5).

Berdasarkan pandangan dalam kitab para nabi dan surat Paulus itu, sejak abad-abad pertama, para pemimpin Gereja selalu melihat perkawinan orang-orang beriman sebagai lambang dari “perkawinan” antara Kristus dan gerejaNya.

Penegasan itulah yang mendorong pemimpin Gereja dalam konsili di Verona pada tahun 1184 untuk mengajarkan, bahwa perkawinan antara dua orang kristen merupakan sebuah sakramen, seperti baptis, tobat, dan ekaristi.

Meskipun demikian, pada tahun 1199 Paus Innocentius III berpendapat bahwa perkawinan antara seorang katolik dan seorang bukan-kristen bukanlah sebuah sakramen.

Pada pertengahan abad ke-16, menanggapi pandangan para perintis Gereja reformasi yang tidak lagi mengakui perkawinan sebagai sebuah sakramen, para pemimpin Gereja katolik menegaskan kembali dalam konsili di Trente, bahwa perkawinan antara orang-orang terbaptis merupakan sebuah sakramen.

Pada tahun 1563, beberapa teolog mengungkapkan pendapat, bahwa sakramen perkawinan diberikan oleh imam, melalui pemberkatan yang diberikannya kepada kedua mempelai. Menanggapi pendapat itu, para pemimpin Gereja katolik menegaskan bahwa sakramen perkawinan diberikan melalui janji-nikah dari kedua mempelai itu sendiri, bukan melalui berkat oleh imam.

Pada tahun 1965, dalam dokumennya yang berjudul “Gaudium et Spes”, konsili Vatikan II menegaskan kembali bahwa melalui sakramen perkawinan Kristus sendiri hadir untuk “menemui” suami-istri kristen, dan memberikan rahmat ilahi kepada mereka. Dengan bantuan rahmat ilahi itulah suami dan istri kristen mampu menghayati perkawinan mereka dengan setia. Tanpa bantuan ilahi, mereka itu lebih mudah dicerai-beraikan.

XV. MARIA, BUNDA GEREJA

Teks-teks paling tua dari Kitab Perjanjian Baru adalah surat-surat Paulus. Di sana bunda Maria ternyata sama sekali belum disebut-sebut.

Injil Markus pun, yang mungkin ditulis sekitar tahun 70, belum berbicara banyak tentang Maria. Di sana hanya dikisahkan bahwa suatu ketika, ketika Yesus sedang mengajar, ibuNya datang untuk menemuiNya (Mrk 3). Barulah Injil Matius, yang mungkin ditulis sekitar tahun 80, berbicara lebih banyak tentang Maria. Di sana ditegaskan bahwa Maria mengandung dengan kekuatan Roh Kudus ketika masih berstatus sebagai tunangan Yusuf (Mat 1).

Penghormatan kepada Maria menjadi lebih jelas pada Injil Lukas, yang mungkin juga ditulis sekitar tahun 80. Di sana ditegaskan bahwa Maria mengandung Sang Penyelamat karena kekuatan Roh Kudus (Luk 1). Karena itu, Elisabet, ibu dari Yohanes Pemandi, menyebutnya sebagai “ibu Tuhan” yang “terberkati di antara semua wanita” (Luk 1).

Penghormatan kepada Maria juga terungkap dalam Injil Yohanes, yang mungkin ditulis sekitar tahun 100. Di sana diungkapkan bahwa Maria punya peran penting pada peristiwa terjadinya mukjizat Yesus yang pertama, yakni pada perjamuan nikah di Kana (Yoh 2). Di sana juga ditegaskan bahwa di bawah salib Yesus, Maria dijadikanNya “ibu angkat” bagi Yohanes (Yoh 19).

Sejak abad ke-4, penghormatan kepada Maria mulai berkembang. Kemudian, pada tahun 431, konsili Efesus meresmikan gelar “Bunda Allah” bagi Maria. Gelar tersebut dimaksud untuk menegaskan bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh Allah. Yang ada dalam kandungan Maria adalah benar-benar Allah yang menjadi manusia. Maka, ibu Yesus boleh juga disebut “Bunda Allah”.

Pada abad ke-7, pimpinan Gereja menegaskan dalam konsili Latheran bahwa Maria tidaklah bernoda dosa dan tetap perawan, baik sebelum maupun sesudah melahirkan Yesus. Konsili mengecam mereka yang tidak menerima gelar “Bunda Allah” bagi Maria dan menilai bahwa mereka itu meragukan keilahian Yesus.

Pada tahun 1854, Paus Pius IX mengajarkan sebagai dogma bahwa “sejak saat pertama dikandung, perawan Maria bebas dari segala noda dosa asal, berkat kasih karunia Allah, berdasarkan jasa Kristus”. Pada tahun 1950, Paus Pius XII mengajarkan sebagai dogma bahwa “Maria diangkat ke dalam kemuliaan surgawi dengan jiwa dan raga setelah ia menyelesaikan hidupnya di dunia ini”.

Pada tahun 1962-1965, konsili Vatikan ke-II melihat Maria sebagai bunda Gereja, bunda seluruh umat beriman. Umat beriman diharap meneladan beliau dalam beriman kepada Putranya. Di samping itu, konsili mendorong seluruh umat untuk menghormati Maria dalam kaitan dengan Kristus, putranya, tidak terlepas dariNya.

XVI. ARWAH ORANG-ORANG MATI

Menurut Kitab Perjanjian Lama, pada umumnya arwah orang-orang mati berada di dunia orang mati (Mzm 30; Ezr 28; Ul 32; Ayb 38). Sementara itu, arwah orang-orang yang jahat berada di tempat yang khusus, yakni di neraka, yang dilukiskan sebagai tempat yang penuh ulat atau api (Yes 66; Mzm 140). Di sana mereka menanggung hukuman ilahi atas kejahatan mereka (Kej 19; Yes 30). Dan hukuman ilahi itu bersifat kekal (Yudith 16; Kebijaksanaan Salomo 3).

Pandangan Kitab Perjanjian Baru tentang dunia orang mati dan neraka mirip dengan pandangan Kitab Perjanjian Lama, seperti disebut di atas. Arwah orang-orang beriman berada di dunia orang mati, menantikan kebangkitan (1 Tes 4). Sementara itu, arwah orang-orang jahat berada di neraka (Luk 16), yang penuh dengan ulat dan api (Mrk 9; Mat 5), tangisan dan kertak gigi (Mat 13). Allah sendirilah yang mengirim arwah orang-orang jahat itu ke sana, sebagai hukuman yang setimpal dengan kejahatan mereka, sebab Allah itu juga hakim yang adil, bukan hanya Bapa yang murah hati (Mat 13; 25).

Dalam kitab Makkabe terungkaplah suatu keyakinan, bahwa arwah orang-orang beriman masih dapat didoakan, supaya dosa-dosa mereka diampuni oleh Allah (2 Mak 12). Karena itu, sejak awal abad ke-2, umat kristen biasa berdoa untuk arwah orang-orang beriman yang telah meninggal, memohonkan pengampunan atas dosa-dosa mereka, agar arwah-arwah itu kemudian berbahagia di sorga. Selain itu, mereka juga sudah mengakui dengan tegas, dalam Syahadat Iman yang paling kuno, bahwa kelak tubuh orang-orang yang telah meninggal akan dibangkitkan.

Dalam konsili di Lyons, pada tahun 1274, pimpinan Gereja menegaskan bahwa arwah orang-orang beriman, yang masih harus menanggung hukuman dosa, dimurnikan lebih dulu oleh Allah sebelum diijinkan masuk sorga. Juga ditegaskan bahwa hukuman mereka itu dapat diringankan oleh orang-orang beriman yang masih hidup di dunia ini, misalnya dengan perayaan Ekaristi, doa-doa, derma, dan amal kasih.

Pada pertengahan abad ke-16, beberapa perintis Gereja reformasi meragukan kebenaran ajaran katolik tentang masa penantian bagi arwah orang-orang mati. Maka, dalam konsili di Trente pada tahun 1563, para pemimpin Gereja katolik menegaskan kembali ajaran katolik tentang masa penantian itu.

Pada tahun 1979, Konggregasi Ajaran Iman di Vatikan mengeluarkan sebuah dokumen resmi tentang hidup sesudah mati. Di sana pimpinan Gereja katolik membela pandangan katolik yang sudah diuraikan di atas.

Ajaran pimpinan Gereja katolik selama berabad-abad di atas memberi dasar yang kuat pada praktik umat katolik sepanjang sejarah, yang tekun berdoa bagi arwah orang-orang yang sudah meninggal. Sebab, tidak ada yang tahu pasti, kapan arwah-arwah itu boleh bahagia di sorga.

XVII. AKHIR ZAMAN

Kitab Perjanjian Lama hampir tidak pernah berbicara tentang akhir zaman. Hanya satu atau dua kitab yang ditulis menjelang zaman Masehi sajalah yang memuat gagasan tentang kiamat. Nubuat tentang akhir zaman itu misalnya terungkap dalam kitab Daniel (bab 12).

Pada abad pertama Masehi, saat Yesus berkarya dan ketika Kitab Perjanjian Baru ditulis, pandangan yang ada dalam kitab Daniel itu menjadi pandangan yang sering kali diperdebatkan oleh orang-orang Yahudi. Sementara orang-orang Saduki tidak meyakininya, orang-orang Farisi meyakini nubuat Daniel bahwa pada akhir zaman akan ada kebangkitan badan.

Yesus percaya akan kebangkitan badan pada akhir zaman. Beliau juga mengajarkan kepercayaan itu kepada para muridNya. Para murid itu pun kemudian percaya pada ajaranNya, setelah Yesus sendiri bangkit dari mati.

Menurut keempat Injil, Yesus mengajarkan bahwa pada akhir zaman itu beliau akan datang lagi ke dunia, untuk kedua kalinya (Mrk 13). Pada saat itu, beliau akan mengadili semua orang. Beliau akan memisahkan mereka yang akan masuk sorga dari mereka yang akan masuk neraka (Mat 25). Selain itu, Yesus juga menegaskan bahwa saat datangnya kiamat itu tidak diketahui seorang pun, kecuali Bapa di sorga (Mat 24).

Pandangan Kitab Suci tentang akhir zaman, seperti dijelaskan di atas, dipertahankan dan dibela dengan setia oleh para pemimpin Gereja sepanjang sejarahnya. Pada akhir abad ke-5, tersebarlah Syahadat Iman, yang antara lain menegaskan bahwa pada akhir zaman nanti Yesus akan datang lagi ke dunia ini. Pada saat itu, tubuh semua orang yang telah mati akan dibangkitkan, lalu diadili oleh Yesus. Mereka yang baik akan dianugerahi hidup abadi.

Ajaran Yesus tentang akhir zaman tersebut dipertahankan dan dijabarkan lebih lanjut oleh para pemimpin Gereja dalam konsili di Toledo pada tahun 675 dan konsili Latheran ke-IV pada tahun 1215. Para pemimpin Gereja itu menambahkan, bahwa tubuh manusia yang dibangkitkan pada akhir zaman itu adalah tubuh yang dimilikinya sebelum kematiannya.

Konsili Vatikan ke-II mengajarkan bahwa pada akhir zaman nanti Tuhan Yesus datang kembali dengan kemuliaan, bersama dengan para malaikatNya. Namun saat datangnya akhir zaman tidak diketahui oleh seorangpun. Juga tidak diketahui, bagaimana dunia fana ini akan diubah menjadi dunia baka.

Pada tahun 1979, Konggregasi Ajaran Iman menegaskan hal berikut : meskipun badan yang akan dibangkitkan adalah sama dengan badan yang dimiliki seseorang sebelum kematiannya, kesamaan itu toh tidak mengingkari adanya perbedaan antara keduanya.

XVIII. PEDOMAN MORAL KATOLIK

Kitab Perjanjian Lama mengungkapkan berbagai upaya penyelamatan manusia oleh Allah, Sang Pencipta dan Sang Penyelamat. Salah satu dari upaya penyelamatan itu tampak pada perjanjian suci yang diadakan oleh Allah dengan umat Israel (Kel 1 dst). Dalam kerangka perjanjian suci itulah Allah memberikan pedoman moral bagi umat Israel, yakni “sepuluh firman Allah” yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “sepuluh perintah Allah” (Kel 20 dan Ul 5). Pedoman moral itu secara bertahap berkembang dari zaman ke zaman, seperti termuat di dalam Hukum Taurat.

Sebagian dari umat Israel sering kali cenderung untuk hidup sesuai dengan Hukum Taurat dengan teliti, namun tanpa motivasi yang tepat. Melihat kenyataan itu, para nabi menyampaikan ajaran yang lebih menekankan pentingnya motivasi daripada ketaatan kepada Hukum Taurat.

Kitab Perjanjian Baru menggemakan kembali suara para nabi itu dalam sabda-sabda dan karya-karya Yesus. Sabda-sabda beliau yang paling terkait dengan moralitas terutama termuat dalam kotbahNya yang pertama (Mat 5-7) dan kotbahNya yang terakhir (Mat 24-25).

Di sana ditegaskan bahwa Yesus menyarankan suatu moralitas yang optimalis, yang lebih unggul daripada moralitas orang-orang Farisi, yang cenderung bersikap minimalis. Di sana juga ditegaskan pentingnya perbuatan baik bagi sesama manusia yang sedang menderita.

Selama abad-abad pertama Masehi, para pemimpin Gereja mengajar umat untuk menghayati moral berdasarkan iman kepada Kristus dan berbuat sesuai dengan teladan dan ajaranNya.

Pada tahun 1322, Paus Yohanes XXII mengajarkan dalam surat “Ad Conditorem bahwa kesempurnaan hidup kristen terutama terletak pada pelaksanaan cinta kasih kristiani. Hal itu sesuai dengan ajaran Yesus tentang hukum moral yang utama.

Pada tahun 1870, dalam konsili Vatikan ke-I, para pemimpin Gereja katolik menegaskan bahwa Paus tidak hanya berhak menyampaikan ajaran resmi tentang iman. Paus juga berhak menyampaikan ajaran resmi tentang moral.

Pada tahun 1888, dalam ensiklik yang berjudul “Libertas Praestantissimum”, Paus Leo XIII menegaskan bahwa kehendak bebas manusia tidak boleh lepas dari hukum-hukum moral, yang bersifat wajib, karena akhirnya bersumber dari Allah sendiri.

Pada tahun 1993, dalam ensiklik yang berjudul “Veritatis Splendor”, Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa moralitas tidak ditentukan terutama oleh akibat atau maksud yang ada di balik perbuatan, melainkan oleh kesesuaian perbuatan tersebut dengan kebaikan obyektif. Paus juga menolak pandangan yang menyatakan bahwa orang hanyalah berdosa berat bila ia menolak Allah.

XIX. SUARA HATI

Kitab Perjanjian Lama mengajarkan bahwa dalam hatinya, setiap orang Israel dapat mendengar suara Allah yang mengadilinya (2 Sam 24). Hal yang senada terungkap dalam surat Paulus kepada umat di Roma. Di sana ditegaskan, bahwa bahwa orang-orang yang tidak mengenal kitab Taurat sebenarnya toh mengenal isi pokok dari kitab tersebut, yakni di dalam hati mereka. Suara hati itu membela seseorang, saat ia berbuat baik, dan menuduh seseorang, saat ia berbuat jahat (Rm 2).

Selama berabad-abad, martabat suara hati selalu dibahas dan ditekankan oleh para ahli moral. Pada masa modern, pandangan mereka ditegaskan lagi oleh para pemimpin Gereja katolik. Para pemimpin Gereja katolik pada prinsipnya tetap menghormati martabat suara hati, terutama bila suara hati itu terbina dengan baik, sehingga jauh dari kesesatan maupun keragu-raguan.

Pada tahun 1963, dalam ensikliknya yang berjudul “Pacem in Terris”, Paus Yohanes XXIII menegaskan bahwa “Sang Pencipta dunia telah mencamkan ke dalam hati sanubari manusia suatu tata moral, yang diwahyukan kepadanya, yang suara hatinya dengan tegas menyuruhnya untuk menaatinya” (PT 5).

Pada tahun 1965, dalam dokumen konsili Vatikan ke-II yang berjudul “Gaudium et Spes”, para pemimpin Gereja menegaskan bahwa : “Suara hati itu selalu menyerukan ... untuk mencintai dan melaksanakan hal yang baik dan untuk menghindari hal yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya ‘lakukanlah ini, elakkanlah itu’. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu pula ia akan diadili. Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di sana ia berada bersama Allah, yang sapaanNya menggema dalam batinnya. Berkat hati nurani dikenalilah secara ajaib hukum ... cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama ... Semakin besar pengaruh hati nurani yang cermat ... semakin orang berusaha mematuhi norma-norma moral yang obyektif. Tetapi tidak jaranglah terjadi bahwa hati nurani tersesat, karena ketidaktahuan, ... (atau karena) ketidakpedulian untuk mencari hal yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa” (GS 17).

Paus Yohanes Paulus II meneguhkan lagi ajaran di atas, terutama dalam ensiklik yang berjudul “Veritatis Splendor”. Di sana ia menegaskan antara lain hal-hal berikut : penilaian suara hati adalah suatu penilaian praktis, suatu penilaian yang membuat orang mengetahui hal yang harus dilakukannya dan hal yang tidak boleh dilakukannya (VS 59); penilaian suara hati mempunyai corak mewajibkan, maka manusia harus bertindak sesuai dengan perintahnya (VS 60); kebenaran mengenai kebaikan moral dikenal secara praktis dan konkret melalui penilaian suara hati (VS 60); suara hati, sebagai penilaian atas suatu perbuatan, tidaklah luput dari kemungkinan untuk keliru (VS 62).

XX. MORAL KEHIDUPAN DAN KESEHATAN

Para penulis kitab-kitab Perjanjian Lama menjunjung tinggi hidup manusia, sebab manusia punya martabat yang luhur, melebihi makhluk-makhluk ciptaan yang lain. Manusia diciptakan Allah sebagai citra-Nya (Kej 1).

Para penulis kitab-kitab Perjanjian Lama tampaknya juga menjunjung tinggi martabat manusia yang masih berada dalam kandungan. Di dalam kitab nabi Yeremia, misalnya, diungkapkan bahwa Allah pernah bersabda kepada nabi Yeremia sebagai berikut : “Sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau” (Yer 1).

Para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru meneruskan pandangan para penulis kitab-kitab Perjanjian Lama seperti telah diuraikan di atas. Pada dasarnya, hidup manusia sangat dijunjung tinggi. Di sana diungkapkan bahwa Yesus pernah bersabda : “Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apa yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” (Mat 16).

Para pemimpin Gereja mempertahankan pandangan pokok para penulis Kitab Suci itu, yakni bahwa hidup manusia mempunyai nilai yang sangat tinggi. Maka, mereka menilai pembunuhan sebagai dosa yang sangat berat.

Sejak abad ke-2 Masehi, para pemimpin Gereja menolak pandangan masyarakat Yunani dan masyarakat Romawi, yang pada umumnya bersikap sangat toleran terhadap pengguguran. Dalam pandangan kristiani, hidup janin yang masih berada dalam kandungan pun haruslah dibela dan dihormati setinggi mungkin.

Pada tahun 1869, melalui sebuah surat kepausan, Paus Pius IX mengajarkan bahwa hidup manusia harus selalu dibela dan dihormati sejak pembuahan, yakni saat sel sperma bersatu dengan sel telur. Maka, pengguguran beliau nilai sebagai tindakan pembunuhan, yang pantas dikenai sanksi eks-komunikasi.

Sekitar tahun 1950-an, melalui berbagai pidato pada beberapa kesempatan, Paus Pius XII menegaskan ajaran moral berikut : orang hanyalah wajib mengusahakan kesembuhan dalam batas-batas kewajaran, sesuai dengan kondisi dan situasi masing-masing; bila mutlak perlu demi kesembuhan, orang boleh melakukan tindakan terapeutis yang berat, juga bila hal itu mengakibatkan kemandulan atau keguguran; namun orang tidak pernah boleh secara sengaja melakukan pemandulan atau pengguguran.

Pada tahun 1995, melalui dokumen yang dikeluarkan oleh Konggregasi Suci Urusan Ajaran Iman, pimpinan Gereja katolik menegaskan penolakannya terhadap praktik-praktik euthanasia yang immoral. Tidak ada seorang pun berhak secara sengaja mempercepat datangnya kematian seseorang! Dalam dokumen tersebut juga ditegaskan lagi ajaran Paus Pius XII, yakni bahwa yang wajib diusahakan oleh seseorang dalam hal kehidupan dan kesehatannya hanyalah upaya-upaya yang wajar, yang terjangkau!

XXI. MORAL DI BIDANG SEKSUAL

Menurut kitab Kejadian bab 1, Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, menurut gambarNya, lalu beliau memberkati mereka, dan memberi perintah kepada mereka untuk beranakcucu dan bertambah banyak. Dengan kata lain, seksualitas manusia diciptakan oleh Allah agar keberadaan manusia di dunia ini tetap lestari, yakni melalui penerusan generasi.

Sementara itu, menurut kitab Kejadian bab 2, Allah menciptakan wanita sebagai “penolong yang sepadan” bagi pria, agar laki-laki rela meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Dengan kata lain, seksualitas manusia juga diciptakan oleh Allah agar pria dan wanita bersatu dan saling tolong-menolong.

Selanjutnya, dalam kitab Kejadian bab 38, terungkap kritik terhadap perbuatan Onan yang setiap kali menghampiri isterinya “membiarkan maninya terbuang”. Menurut penulis kritik tersebut, hal yang dilakukan Onan itu adalah jahat di mata Tuhan, sehingga Tuhan membunuh dia.

Dalam salah satu suratnya, santo Paulus pernah mengemukakan kritiknya atas orang-orang kafir yang “meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki” (Rm 1). Searah dengan pernyataannya di atas, santo Paulus menyampaikan nasihat kepada umat Korintus agar “setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri”. Hal itu menunjukkan bahwa santo Paulus menolak percabulan (1 Kor 7).

Oleh pimpinan Gereja, pandangan para penulis Kitab Suci di atas dijadikan dasar untuk mengajarkan bahwa hubungan seks hanyalah baik bila dilakukan oleh suami dan istri yang sah dan dibiarkan tetap terbuka terhadap kemungkinan akan adanya anak. Ajaran pimpinan Gereja katolik itu ditegaskan secara konsisten selama berabad-abad.

Pada dasarnya pimpinan Gereja katolik tidak mendukung tindakan onani. Maka, orang diharap berusaha mencegah dan mengatasi tindakan onani. Meskipun demikian, tidak semua tindakan onani dinilai sebagai dosa berat. Hal itu, misalnya, ditegaskan dalam “Deklarasi tentang beberapa masalah sekitar etika seksual” yang diterbitkan pada tahun 1975. Selanjutnya, dalam dokumen yang berjudul “Sikap pastoral terhadap orang-orang homoseksual”, yang diterbitkan pada tahun 1986, pimpinan Gereja katolik menolak hubungan seks antara dua orang homo-seksual. Meskipun demikian, Gereja tidak menilai kecenderungan homo-seksual sendiri sebagai suatu hal yang bersifat immoral.

XXII. MORAL PERKAWINAN

Meskipun selalu mengecam perzinahan dan mengancam pelakunya dengan sanksi yang berat (Yes 5; Yeh 22; Hos 4; Mal 3; Ams 6-7; Tob 4), para penulis Kitab Perjanjian Lama bersikap agak toleran terhadap perceraian (Ul 24).

Berbeda dari para penulis Kitab Perjanjian Lama itu, para penulis Kitab Perjanjian Baru pada dasarnya menolak perceraian. Menurut mereka, Yesus sendiri menolak perceraian (Mrk 10, Lukas l6, dan 1 Kor 7). Meskipun demikian, santo Paulus tampaknya mengijinkan seorang beriman untuk menikah lagi, setelah diceraikan oleh pasangan hidupnya yang tidak beriman (1 Kor 7).

Lebih daripada para penulis Kitab Perjanjian Lama, para penulis Kitab Perjanjian Baru sangat menentang perzinahan. Menurut mereka, Yesus bahkan tidak hanya mengecam tindakan perzinahan, melainkan juga keinginan dalam batin untuk berzinah (Mat 5).

Para pemimpin Gereja pada abad-abad pertama Masehi meneruskan ajaran para penulis Kitab Perjanjian Baru di atas. Dengan tegas mereka menolak perceraian dan perzinahan. Bahkan, sejak abad ke-2, mereka juga menolak poligami.

Pada abad ke-12 Paus Alexander III mengajarkan bahwa perkawinan memang sudah sah setelah kedua mempelai mengucapkan janji-nikah mereka, namun barulah bersifat tak-terceraikan setelah mereka berdua melakukan hubungan seks. Sementara itu, Paus Innocentius III menegaskan bahwa suami-istri yang berbeda agama masih boleh bercerai, sebab perkawinan mereka bukanlah sakramen. Dalam praktik, toh hanya Paus sajalah yang berhak menceraikan suami-istri yang berbeda agama itu.

Pada abad ke-20 muncullah teknologi baru, yakni teknologi pencegahan kehamilan. Pada tahun 1930, Paus Pius XI dengan tegas masih menolak setiap usaha mencegah kehamilan. Penegasan itu didasarkan pada norma moral bahwa setiap hubungan seks haruslah dibiarkan tetap terarah pada adanya keturunan.

Barulah sejak tahun 1951, Paus Pius XII mulai mengijinkan suami-istri katolik mencegah kehamilan, asal ada alasan-alasan yang berat, dan dilakukan dengan pantang berkala. Namun beliau menolak penggunaan cara-cara buatan, baik untuk mencegah maupun untuk mengusahakan adanya anak.

Dalam konsili Vatikan II, melalui dokumen “Gaudium et Spes” yang diterbitkan pada tahun 1965, para pemimpin Gereja katolik menegaskan bahwa dalam hal pencegahan kehamilan para suami-istri katolik haruslah memperhatikan ajaran pimpinan Gereja. Kemudian, pada tahun 1968, melalui dokumen “Humanae Vitae”, Paus Paulus VI menegaskan bahwa Gereja katolik menolak penggunaan cara-cara dan alat-alat buatan, baik untuk mencegah maupun untuk mengusahakan kehamilan.

XXIII. DOSA DAN PERTOBATAN

Para penulis kitab-kitab Perjanjian Lama tidak merasa sungkan mengisahkan kedosaan umat manusia pada umumnya maupun umat Israel pada khususnya. Para penulis kitab-kitab Perjanjian Lama tampaknya bahkan berkeyakinan, bahwa manusia pertama pun sudah melakukan dosa berat (Kej 3). Dosa berat itu kemudian dilakukan oleh generasi-generasi berikutnya (Kej 4-11).

Menyadari kedosaan umat Israel maupun semua bangsa lain, para penulis kitab-kitab Perjanjian Lama tidak jemu-jemu menekankan pentingnya pertobatan. Penulis kitab Yunus, misalnya, mengisahkan usaha-usaha nabi Yunus untuk mempertobatkan penduduk kota Niniwe dan para pemimpinnya (Yun 3).

Ketika melihat bahwa banyak orang Israel menggunakan lambang-lambang lahiriah dari pertobatan, padahal hati dan hidup mereka sama sekali tidak menjadi lebih baik, para penulis kitab nabi-nabi menegaskan bahwa pertobatan yang benar adalah perbaikan hati dan perbaikan cara hidup secara nyata (Am 5).

Para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru meneruskan ajaran para nabi itu. Yesus menegaskan, bahwa beliau datang untuk mempertobatkan orang-orang berdosa, bukan untuk orang-orang yang sudah baik (Luk 5). Beliau juga menyatakan, bahwa Allah berkenan atas bertobatnya para pendosa (Luk 15).

Sudah selama 20 abad, para pemimpin Gereja selalu mengajak umat kristen untuk bertobat dan memohon pengampunan dari Allah. Sejak abad ke-2 sampai sekitar abad ke-6, mereka cenderung menekankan dengan tegas adanya perbedaan antara dosa-dosa berat dan dosa-dosa yang lain. Dosa-dosa berat hanya dapat diampuni satu kali seumur hidup, setelah pelakunya menjalani hukuman dosa yang berat. Dosa-dosa berat itu adalah : pembunuhan orang yang tak bersalah; murtad dari iman; dan perzinahan.

Sejak abad ke-12, pimpinan Gereja menegaskan bahwa setiap orang kristen wajib mengakukan dosa-dosa berat di hadapan seorang imam, sekurang-kurangnya setahun sekali, terutama menjelang perayaan Paskah.

Pada pertengahan abad ke-16, pimpinan Gereja katolik menegaskan dalam konsili di Trente hal-hal berikut : dalam pertobatan, orang katolik diharap menyesali semua dosanya, sekurang-kurangnya dengan sesal yang tidak sempurna; sesal yang sempurna maupun sesal yang tidak sempurna merupakan anugerah ilahi dan mempersiapkan orang untuk menerima pengampunanNya.

Dalam konsili Vatikan II, melalui dokumen “Lumen Gentium” yang diterbitkan pada tahun 1964, pimpinan Gereja katolik menegaskan lagi hal-hal berikut : meskipun Gereja itu kudus, Gereja tetap mencakup di dalamnya para pendosa; karena itu Gereja terus-menerus mengusahakan tobat dan pembaharuan; semua warga Gereja dipanggil untuk hidup dalam semangat tobat.

No comments: