Monday 5 March 2007

KK08 Perkawinan Menurut Kehendak Allah

PRAKATA

Di sepanjang sejarahnya, Gereja sebenarnya selalu menghadapi tantangan. Hal itu bahkan telah dialami sejak zaman para rasul. Namun, pada zaman liberalisme dan sekularisme abad ke-19 dan ke-20 hingga saat ini keluarga kristen menghadapi tantangan yang lebih besar, yakni terjadinya kemerosotan nilai-nilai kehidupan keluarga, makin menipisnya suasana religius dalam keluarga, seringnya terjadi perselingkuhan, perceraian, dan masih banyak lagi hal-hal yang mengancam keutuhan dan kesatuan dalam keluarga.

Menanggapi hal itu sudah banyaklah usaha yang dilakukan pimpinan Gereja katolik dalam upaya membaharui kehidupan umat. Misalnya, melalui ajaran Konsili Vatikan II (1962-1965) maupun ajaran Paus Yohanes Paulus II, dalam dokumen Familiaris Consortio, sebagai hasil final dari sinode para Uskup yang diselenggarakan di Roma pada tanggal 26 September - 25 Oktober 1980. Namun demikian harus kita akui bahwa semua dokumen itu masih belum sempat terbaca oleh sebagian besar umat dan keluarga-keluarga, entah karena bahasanya terlalu sulit, harga bukunya relatif mahal, atau isinya tidak mudah dicerna oleh kebanyakan umat, dan sebagainya.

Mengingat hal itu, bertepatan dengan tahun 2007 sebagai Tahun Keluarga di Keuskupan Agung Semarang, kami pasutri Marriage Encounter di Distrik II Semarang mendukung usaha Komisi Pendampingan Keluarga KAS, dengan menyajikan buku kecil yang sederhana ini. Kami mengemasnya sedemikian rupa, agar para suami-isteri dapat dengan mudah membaca dan memahaminya.

Penyusun

PENDAHULUAN

Bukanlah hal istimewa bila ada pasangan suami-isteri yang berantem, mulai dengan cek-cok kecil-kecilan sampai bersitegang maupun bercerai. Pasangan yang pada waktu pacaran dan pada awal pernikahan tampak rukun, seakan-akan tak terpisahkan, beberapa tahun kemudian ternyata tidak saling mencintai lagi. Kesatuan mereka retak setelah menghadapi persoalan-persoalan hidup berkeluarga.

Penyebab keretakan hubungan suami-isteri itu, tentu saja, beraneka macam. Salah satu penyebabnya ialah : karena mereka tidak lagi menyadari hakekat dan tujuan perkawinan mereka. Mereka melupakan janji-perkawinan yang mereka ucapkan sewaktu menerima sakramen erkawinan di gereja. Mereka mengira : setelah kursus perkawinan selesai, setelah perkawinan mereka diberkati, semuanya menjadi beres dengan sendirinya.

Kenyataan ternyata berbicara lain. Pasangan suami-isteri yang tidak pernah menyegarkan cinta mereka ternyata terjebak dalam kehidupan menurut tata dan selera dunia. Masing-masing pihak kembali ke gaya hidup membujang yang egois, tidak peduli pada pasangannya, berjalan semaunya, hanya memikirkan diri sendiri. Akibatnya : relasi suami-isteri memudar, hambar, tidak menarik, bagaikan garam yang tidak asin lagi.

Uraian yang berjudul “Perkawinan Menurut Kehendak Tuhan“ ini akan beberapa segi dari perkawinan, yang perlu disadari betul oleh pasangan suami-isteri kristen. Bagi orang kristen, perkawinan merupakan panggilan yang berasal dari Tuhan sendiri. Artinya : Tuhan ikut campur tangan di dalamnya. Tuhanlah yang mempersatukan suami-isteri. Ia menghendaki agar cinta mereka berdua semakin berkembang subur dan membuahkan kebahagiaan.

I. KASIH ALLAH SEBAGAI LANDASAN PERKAWINAN

A. Cinta kasih suami-isteri cermin dari kasih Allah.

Menurut Kitab Kejadian, perkawinan merupakan suatu cara hidup yang berasal dari Allah sendiri. (Kej 1-2). Sejak awal karya penciptaan, Allah menciptakan komunitas manusia, yang terdiri dari seorang pria dan seorang wanita. Allah menciptakan manusia “menurut gambar dan rupa“-Nya sendiri (Kej 1:26), tidak seperti ciptaan-ciptaan lain. Manusia diciptakan mirip dengan Allah. Manusia adalah cermin dari Allah, yang penuh dengan kasih.

Selanjutnya, Allah memberkati pasangan itu dan mengutus mereka untuk “beranak cucu dan bertambah banyak “ (Kej 1:29). Maka dapatlah dikatakan bahwa kasih Allah merupakan landasan bagi perkawinan. Wanita menggambarkan Allah yang mencintai dengan kelembutan dan kerahiman. Pria menggambarkan Allah yang mencintai dengan ketegasan dan kekuatan.

B. Cintakasih untuk saling membahagiakan.

Sudah sejak diciptakan, manusia diberi tugas untuk mewujudkan gambaran Allah, yang sempurna. Allah yang sempurna itu dapat diwujudkan melalui kesatuan antara pria dan wanita dalam perkawinan. Di sana mereka sudah bukan dua lagi, melainkan satu. Karena itu, suami-isteri tidak layak dipisahkan lagi (bdk. Mrk 10:6-9).

Dari Sabda Tuhan di atas menjadi jelaslah tujuan dari setiap perkawinan. Orang menikah bukan untuk mencari kesenangan, melainkan untuk saling melengkapi, saling menyempurnakan, dan saling membahagiakan, dalam kasih Tuhan, yang telah berkenan menyatukan pria dan wanita pertama.

Dengan landasan kasih Tuhan, suami-isteri dipanggil untuk saling membahagiakan, kemudian bersama-sama berusaha membagikan kebahagiaan untuk seluruh keluarga dan seluruh masyarakat. Dengan demikian, keduanya sungguh-sungguh menjadi gambaran dari Allah, yang sempurna.

A. Cintakasih seturut teladan dan ajaran Yesus

Salah satu syarat penting untuk menikah ialah adanya cinta kasih timbal balik antara dua orang yang mau menikah. Tanpa adanya cinta kasih, pernikahan tidaklah punya landasan yang kuat. Dengan seling mencintai, suami-isteri yang sah mengamalkan perintah Yesus yang berbunyi : “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu “ (Yoh 15:12).

Sabda Yesus di atas mengisyaratkan bahwa cintakasih merupakan syarat yang penting dalam setiap perkawinan. Cinta kasih itu bukan suatu yang fakultatif, melainkan suatu hal yang seharusnya ada. Dengan cinta kasih macam apakah suami-isteri harus saling mencintai? Mereka harus saling mencintai seperti Yesus mencintai mereka berdua!

Bagaimana Yesus menyatakan cinta kasih-Nya kepada kita dalam seluruh hidup-Nya?

- Cinta-Nya tidak berkesudahan, artinya : terus menerus tanpa bosan, tetap mencintai baik dalam suka maupun dalam duka, dalam keadaan sakit maupun sehat, dan dalam keadaan apa saja.

- Cinta-Nya penuh pengorbanan jiwa dan raga, artinya: sepenuh hati, diwarnai pengorbanan lahir dan batin, bahkan sampai mati.

- Cinta-Nya membahagiakan, artinya : bukan demi kepentingan sendiri, tetapi demi kepentingan yang dicintai. Yesus mencintai untuk membahagiakan umat-Nya.

D. Kenyataan yang ada

Bila kita amati, di Indonesia dewasa ini dapatlah kita lihat :

- banyaknya perkawinan yang berakhir dengan perceraian ;

- banyaknya suami/isteri yang pernah selingkuh ;

- banyaknya isteri yang mengalami kekerasan dari suami.

Hal itu menunjukkan bahwa banyak pasangan suami-isteri mengalami kegagalan dalam menghayati perkawinan mereka. Mengapa? Karena mereka tidak mampu mengatasi berbagai tantangan yang muncul selama perkawinan mereka.

Menurut penelitian ada tiga masa rawan dalam perkawinan :

1. Masa rawan pertama : tahun-tahun pertama, di kala suami isteri mengalami benturan-benturan dalam penyesuaian diri sebagai pasangan ;

2. Masa rawan kedua : tahun ketujuh, di kala suami-isteri mengalami rutinitas, dan merindukan sesuatu yang baru ;

3. Masa rawan ketiga : tahun-tahun berikutnya, di kala suami-isteri sudah saling mengenal luar-dalam, merasakan tak ada lagi yang menarik, mengalami kebosanan dan kejenuhan, lalu lari dari keluarga dan mencari sesuatu di luar rumah, yang lebih menyenangkan.

Apabila masa-masa rawan itu tidak dapat diatasi, apa lagi bila cinta suami-isteri semakin memudar, mudahlah terjadi kasus-kasus kekerasan dalam keluarga, perselingkuhan, sampai ke perceraian.

Sebaliknya, apabila cinta suami-isteri dapat dipertahankan dan dikembangkan sesuai dengan kehendak Tuhan, perkawinan mereka akan selamat, bahkan penuh dengan berkat.

E. Pertanyaan refleksi

1. Ketika aku menikah dan mengucapkan janji di hadapan Tuhan, sebenarnya apa yang kujanjikan kepada pasanganku?

2. Ketika aku tahu bahwa cintakasih Allah menjadi dasar cinta kasihku kepada pasangan, apa yang kubayangkan dan ingin kulaksanakan dalam hidup pernikahanku ?

3. Apabila cinta kasihku kepada pasanganku memudar, apa upayaku untuk mengatasi keadaan itu ?

II. KOMUNIKASI YANG BAIK

A. Komunikasi itu ibarat kendaraan

Perkawinan sering diibaratkan sebagai suatu perjalanan, sedang komunikasi merupakan kendaraan atau keretanya. Pada saat-saat awal perkawinan, kereta yang dipakai suami-isteri adalah kereta kencana yang bagus, baru, mengkilat dan gemerlapan, jalannya lancar dan cepat. Artinya : pada awal perkawinan, komunikasi suami-isteri biasanya dirasakan sebagai pengalaman yang sangat menyenangkan. Semuanya enak, baik, lancar, tidak ada gangguan yang berat. Mengapa? Karena masing-masing pihak berusaha keras agar hubungan mereka tetap baik. Kedua pihak cenderung tampil sebaik-baiknya, dengan menutupi kekurangannya. Tahun-tahun pertama perkawinan merupakan masa yang indah

Pada puluhan tahun berikutnya, komunikasi suami-isteri banyak berubah. Seperti kendaraan yang terus menerus dipakai, mulailah ada banyak gangguan, jalannya mulai seret, tidak lancar. Komunikasi suami-isteri mengalami gangguan, kurang lancar, diwarnai salah paham, pertengkaran, dan sebagainya.

B. Komunikasi itu perlu ditingkatkan mutunya

Banyak suami/isteri kawatir bahwa relasi mereka sebagai suami-isteri dapat menjadi rusak bila ia mengungkapkan perbedaan pendapat atau menyatakan perasaan negatifnya terhadap pasangan. Kekawatiran itu membuat dirinya lebih suka berdiam diri daripada konflik, lebih suka menutup diri daripada membuka masalah apa adanya. Ia berharap, dengan demikian keluarganya dapat hidup damai, nyaman, dan rukun. Sayang, bertindak seperti itu sebenarnya bagaikan menyimpan api dalam sekam, atau menyimpan sebuah bom waktu. Masalah justru semakin menumpuk, dan akhirnya dapat meledak setiap saat.

Karena itu, suami-isteri sebaiknya berupaya meningkatkan mutu komunikasi timbal-balik antara mereka, dengan lebih berterus-terang dalam berkomunikasi, dengan meningkatkan ketrampilan dalam berkomunikasi. Ketrampilan itu mencakup :

1. Kemampuan saling memahami, pertama-tama dengan saling percaya dan saling membuka diri, dengan lebih berani mengungkapkan perasaan, tidak malah menyembunyikan atau menekannya ;

2. Kemampuan mengkomunikasikan pikiran dan perasaan dengan tepat dan jelas ; kemampuan ini perlu disertai dengan sikap mau saling mendengarkan dengan baik ; cara ini bisa memudahkan, mengembangkan komunikasi dengan pasangan ;

3. Kemampuan saling menerima dan saling memberikan dukungan, menanggapi keluhan pasangan dengan cara siap mau menolong dan membantu ;

4. Kemampuan berkomunikasi, melalui cara-cara yang bersifat konstruktif, mendekatkan diri pada pasangan ; kemampuan ini penting untuk memelihara maupun untuk mengembangkan kelangsungan komunikasi.

C. Komunikasi itu mutlak perlu

Perkawinan dapat dikatakan sebagai sebuah relasi yang paling intim sejauh suami-isteri sungguh-sungguh bersatu. Tetapi kesatuan ini hanya tercapai bila ada komunikasi yang baik. Maka, untuk mencapai kesatuan hati dan pikiran, perlulah suami-isteri mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan jujur. Agar sungguh-sungguh menjadi satu, suami-isteri harus berusaha mengenal lebih baik satu sama lain, dengan cara yang sangat intim. Dan hal ini akan tercapai kalau ada komunikasi dan dialog yang mendalam di antara mereka.

1. Komunikasi merupakan cara satu-satunya untuk mengenal pribadi yang lain ; komunikasi membuat perbedaan antara hidup bersama sebagai dua orang asing yang sopan dan hidup bersama sebagai suami-isteri yang saling mencintai ;

2. Komunikasi mengarah kepada pemahaman yang lebih baik kepada pihak lain ;

3. Tanpa komunikasi suami/isteri tidaklah dapat mengetahui kebutuhan pasangannya. Karena laki-laki dan wanita itu memang berbeda, kebutuhan pasangan hanya dapat diketahui lewat komunikasi.

D. Perlu bertahan dalam berkomunikasi

Untuk mencapai komunikasi yang baik, ada beberapa sikap praktis yang harus dikembangkan pada seseorang :

1. Mengenali diri sendiri :

Seseorang tidak bisa berbicara terbuka dan jujur tentang diri sendiri kalau ia tidak berusaha jujur terhadap diri sendiri, dengan menyadari kekuatan dan kelemahannya sendiri.

2. Berkomunikasi pada saat yang tepat :

Tekanan, kesedihan, kecemasan akan hal-hal tertentu, kesibukan, harapan, ketegangan karena sedang mengalami saat mentruasi, adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi. Janganlah orang membicarakan hal yang sensitif apabila saatnya tidak tepat.

3. Menghargai :

Apabila isteri berbaik hati atau membuat sesuatu yang menyenangkan, suami hendaknya memuji saat itu juga. Suami perlu menghargai dia sesering mungkin.

4. Menjaga lidah dan watak :

Suami/isteri harus berhati-hati dengan perkataan yang tidak dipikirkan lebih dulu, misalnya dalam mengungkapkan perasaan marah. Hina/cercaan dapat menodai hubungan suami-isteri dan merusak rasa hormat satu sama lain. Sikap mengungkit-ungkit masa lalu dapat membuka luka lama.

5. Membicarakan suatu hal yang konkret :

Banyak pasangan suami-isteri menemui kesulitan berkomunikasi karena tidak punya bahan untuk berkomunikasi. Karena pekerjaan dan urusan rumah tangga mudah menjadi rutin, komunikasi tentang kegiatan-kegiatan di luar rumah barangkali lebih dapat membuat komunikasi tetap menggairahkan.

6. Mencari waktu untuk berbicara :

Meskipun pekerjaan dan urusan anak-anak memerlukan begitu banyak waktu, energi, dan perhatian, suami-isteri perlu tetap memelihara dan mengembangkan komunikasi, misalnya dengan mengusahakan adanya acara-acara bersama.

7. Tidak menjadikan pasangan tempat pelampiasan :

Apabila sewaktu bekerja di kantor menjumpai masalah, dan suami tidak dapat mengatasinya, janganlah ia melampiaskannya kepada isteri atau anak-anak. Ia harus berusaha agar ia tidak memindahkan rasa frustasi, marah dan benci di kantor kepada orang-orang di rumah.

8. Tidak membiarkan rasa marah sampai matahari terbenam :

Apabila terjadi pertengkaran, semua pihak sebaiknya mencoba menganalisa penyebabnya serta mencari solusi terbaik. Jika masalahnya rumit dan perlu waktu dan pikiran untuk membereskannya, masalah itu untuk sementara dapat dikesampingkan dulu. Semua pihak perlu tetap tenang, tidak membiarkan diri larut dalam emosi dan amarah.

9. Menghindari sikap berdiam diri :

Berdiam diri menandakan penolakan mutlak terhadap pasangan. Berdiam diri membuat masalah justru tidak terpecahkan dan membuat cinta menjadi lumpuh.

10. Mematahkan penyebab dari pertengkaran :

Semua pihak perlu mencari asal-muasal masalah. Apabila sudah diketahui penyebabnya, solusi lebih mudah ditemukan. Masalah dapat dipecahkan.

III. MENJAGA KEUTUHAN KELUARGA

A. Ikatan suami-isteri tak terputuskan

Dewasa ini banyak orang beranggapan bahwa hidup dalam perkawinan dengan satu orang selama hidup itu terlalu sukar dilaksanakan, atau bahkan mustahil. Mereka melupakan sabda Yesus, bahwa “bagi Allah, tidak ada hal yang mustahil”.

Sifat tak terceraikannya suami-isteri, menurut ajaran Gereja kakolik, mempunyai dasar dan kekuatannya dalam Kristus. Tuhan mewahyukan, bahwa Allah menghendaki ikatan perkawinan yang bersifat tak terputuskan : Apa yang sudah disatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia (Mat 19,6).

Sakramen perkawinan memuat panggilan sekaligus tugas perutusan bagi suami-isteri kristen untuk setia satu sama lain, seperti Kristus setia kepada GerejaNya (Ef 5:21-33). Sebab itu suami-isteri tidak selayaknya meniadakan persatuan yang berasal dari Allah itu demi kepentingan pribadinya sendiri.

B. Persatuan suami-isteri memerlukan kesetiaan

Sakramen perkawinan tidak dengan sendirinya membawa kebahagiaan, keharmonisan, dan kesuksesan dalam perkawinan. Dinamika hidup yang diwarnai suka-duka, sehat-sakit, pahit-manis, harap-cemas, dan sebagainya, merupakan dinamika yang biasa dalam setiap perkawinan.

Persatuan suami-isteri menuntut kesetiaan. Kesetiaan itu tidak hanya menyangkut bidang seksual, melainkan juga bidang-bidang yang lain. Kesetiaan menyangkut tanggung jawab suami-isteri di bidang jasmani maupun rohani. Mereka diharap bersikap terbuka dalam keuangan, bijaksana dalam mendidik anak, penuh perhatian terhadap masalah penghayatan iman, peka akan kebutuhan dasariah pasangan. Masing-masing diharap sadar bahwa pasangannya mempunyai berbagai kebutuhan, seperti : kebutuhan untuk dicintai dan mencintai, kebutuhan untuk dihargai dan menghargai, kebutuhan untuk berpartisipasi dalam kehidupan rumah tangga, kebutuhan untuk diterima dan menerima.

Kesetiaan seperti itu memungkinkan suami-isteri untuk saling menyerahkan diri secara total sampai mati, seperti Kristus telah menyerahkan diriNya sampai mati, bagi GerejaNya ( Fil. 2:8 ).

C. Kesetiaan dalam perkara besar dan kecil

Kesetiaan suami-isteri tidak hanya diuji dalam perkara-perkara besar, melainkan juga dalam perkara-perkara kecil, dalam hidup keseharian. Bila mereka setia dalam perkara-perkara kecil, mereka diharapkan setia pula dalam perkara-perkara besar (Luk 16:50).

Kesetiaan suami-isteri bukanlah semata-mata hasil usaha keras mereka saja, melainkan juga berkat rahmat Tuhan. Yang sungguh-sungguh setia memegang janji adalah Allah (Ul 7:9). Manusia kurang mampu setia. Karena itulah pengarang kitab Amsal bertanya : Siapakah yang dapat menemukan orang yang setia? (Amsal 20:6). Karena kesetiaan itu sulit, suami-isteri perlu selalu memohon rahmat kesetiaan kepada Allah, seperti kata pengarang mazmur (Mz 43:3).

D. Kesetiaan suami-isteri mengacu pada Kristus.

Di dunia ini tidak ada kesetiaan yang sempurna seperti kesetiaan Kristus. Dalam seluruh hidup-Nya, Kristus selalu setia pada panggilan dan perutusan-Nya yaitu menyelamatkan umat manusia. Kesetiaan-Nya terbukti pada kesediaanNya untuk menderita dan wafat di kayu salib demi keselamatan dunia.

Kesatuan suami-isteri sebenarnya harus diarahkan menjadi seperti kesatuan antara Kristus dan GerejaNya. Dia tetap setia, meskipun manusia tidak setia kepada-Nya (2 Tim 2:13). Sayang, dalam kenyataan, kesatuan suami-isteri itu begitu rapuh. Para artis sepanjang zaman membuktikan hal itu dengan beberapa kali kawin dan bercerai. Beberapa orang bahkan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri secara mengenaskan. Dewasa ini ada ribuan, bahkan mungkin jutaan pasangan suami-isteri hidup seperti para artis yang tersohor itu.

Karena kesetiaan manusia tidak dapat diandalkan sepenuhnya, baiklah suami-isteri kristen menengadah ke atas, untuk mohon kepada Allah, agar Roh Kudus membimbing setiap langkah mereka. Suami-isteri kristen diharap menyerah kepada kehendak dan rencana Allah terhadap keluarga mereka. Kesetiaan, menurut santo Paulus, merupakan buah dari karya Roh Kudus (Gal 5:22).

E. Pertanyaan refleksi

1. Menurut pengalamanku, godaan macam apa membuat suami/isteri tidak setia pada janji perkawinannya ?

2. Sebaliknya : hal-hal apakah dapat menjadi pendorong ke arah kesetiaan dalam perkawinan ?

IV. MENUJU KELUARGA BAHAGIA

A. Pengertian kebahagiaan

Kita merasa bahagia bila kita berada dalam keadaan yang memberi kegembiraan, kesenangan, kepuasan dan kenikmatan hidup. Dari mana datangnya kebahagiaan itu?

Ada yang berpendapat bahwa kebahagiaan dalam hidup berkeluarga datang dari keberuntungan atau nasib. Bila tidak ada keberuntungan atau nasib, kebahagiaan akan jauh jangkauan.

Ada pula yang berpendapat bahwa kebahagiaan itu pemberian Allah semata-mata. Kebahagiaan tidak akan pernah menjadi milik kita, bila Tuhan tidak memberikannya kepada kita.

Sebagai orang beriman kita yakin bahwa kebahagiaan bukanlah nasib maupun pemberian Allah semata-mata. Kebahagiaan merupakan hasil kerjasama antara kita dan Allah. Kita yang berusaha, Allah yang memberikan dan memberkati hasilnya!

B. Pandangan Kitab Suci tentang kebahagiaan

Dalam Mazmur, kita temukan pandangan bijaksana berikut :

- Berbahagialah semua orang yang berlindung pada-Nya. ( Maz. 2:12b )

- Berbahagialah setiap orang yang takut akan Tuhan, yang hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya ( Maz. 128:1 )

- Berbahagialah orang yang Engkau pilih dan yang Engkau suruh mendekat untuk diam di pelukan-Mu ( Maz. 65:5a )

Selanjutnya, dalam kotbahNya yang pertama Yesus menjelaskan bahwa orang yang berbahagia ialah orang yang miskin di hadapan Allah, yang berduka cita, yang lemah lembut, yang lapar dan haus akan kebenaran, yang murah hatinya, yang suci hatinya, yang membawa damai, yang dianiaya karena kebenaran (Mat 5).

C. Kehidupan sudah ada mendahului kebahagiaan

Dalam hidup ini, kita merindukan kegembiraan, kesenangan, dan kepuasan. Kalau kerinduan itu tidak menjadi kenyataan, hidup kita terasa hampa.

Namun, kerinduan itu barulah muncul bila kita lebih dahulu memiliki kehidupan. Dan kehidupan itu sudah kita miliki. Kehidupan itu sudah dianugerahkan Allah kepada kita. Karena itu, sekarang pun, kita sudah pantas bersyukur dan berterima kasih, juga bila kerinduan di atas belum menjadi kenyataan.

D. Jenis-jenis kebutuhan hidup suami-isteri.

Kebutuhan suami-isteri menyangkut 5 aspek kehidupan :

1. Kebutuhan fisik : kebutuhan akan makanan dan minuman, berbagai jenis sandang dan papan, yang perlu untuk mempertahankan dan mengembangkan hidup secara sehat.

2. Kebutuhan seksual : kebutuhan yang bersifat alami, yang dianugerahkan Tuhan kepada suami dan isteri agar keduanya dapat melestarikan adanya manusia di bumi ini.

3. Kebutuhan mental : kebutuhan untuk dicintai dan mencintai, kebutuhan untuk dihargai dan menghargai, kebutuhan akan kebebasan dan kemandirian, kebutuhan untuk mengambil bagian dalam hidup bersama.

4. Kebutuhan sosial : kebutuhan ini berkaitan dengan hakikat manusia yang harus hidup bersama; perkawinan merupakan perwujudan pertama dari pemenuhan kebutuhan sosial tersebut.

5. Kebutuhan spiritual : manusia bukan hanya makluk jasmani tapi juga makluk rohani, yang secara pribadi membutuhkan Allah; kebutuhan akan penyembahan dan kehadiran Tuhan dalam hidup suami-isteri ini berperan sebagai pusat pengendali, sehingga semua kebutuhan lain menjadi berkat baik bagi diri sendiri maupun bagi pasangannya.

Bila seluruh kebutuhan hidup ini terpenuhi, suami-isteri akan menikmati kebahagiaan dalam hidup mereka.

E. Pertanyaan refleksi :

1. Menurut saya sendiri, apa yang saya anggap kebahagiaan?

2. Menurut kita, umat beriman, bilamana kita akan dapat meraih kebahagiaan dengan sempurna?

3. Secara rinci, kebutuhan pokok apa saja yang kita perlukan untuk tercapainya kebahagiaan?

V. TELADAN KELUARGA DALAM KITAB SUCI

A. Perkawinan Ishak dan Ribka.

Ishak dan Ribka memasuki hidup berkeluarga karena dihantar oleh pimpinan Tuhan. Cinta kasih menjadi dasar hidup mereka. Karena itu, hubungan mereka sebagai suami-isteri ditandai dengan kemesraan dan saling penghargaan (Kej 24:50-67).

Meskipun demikian, suatu ketika hubungan Ishak dan Ribka toh mengalami krisis. Karena tidak dikaruniai anak, mereka mengalami penderitaan batin. Meskipun merindukan keturunan dari isterinya, Ishak tidak menyalahkan Ribka (Kej 25:21). Sebagai seorang wanita, Ribka pun merindukan penggenapan kewanitaannya dengan menjadi ibu.

Syukurlah, Tuhan mengabulkan doa Ishak. Karena bantuan ilahi, Ribka mengandung dan akhirnya melahirkan anak, Esau dan Jakub.

Letak kekuatan perkawinan antara Ishak dan Ribka ada pada ikatan cinta yang kokoh di antara mereka. Karena itu, krisis yang mereka alami dapat mereka atasi dengan baik. Selain itu, Ishak dan Ribka yakin bahwa mereka dijodohkan oleh Tuhan. Keyakinan mereka itu membuat cinta kasih antara Ishak dan Ribka tidak mudah terkena erosi.

Di samping itu, Ishak dan Ribka pun mempunyai iman yang mendalam. Ishak membangun tempat-tempat persembahan bagi Allah, sesudah itu baru memasang kemah dan menggali sumur. Ribka mendukung suaminya dalam memberi tempat utama kepada Tuhan. Itulah sikap hidup mereka. Keduanya selalu hidup dekat dengan Allah, sehingga mereka beserta seluruh keluarga tampak sangat diberkati Allah (Kej 26:16-31).

B. Perkawinan Yusuf dan Maria

Dalam sejarah keselamatan, Yusuf dan Maria mempunyi tempat yang khusus, karena mereka dipilih dan diutus Allah menjadi orang tua Tuhan Yesus. Meskipun demikian, sebagai manusia biasa, mereka pun tidak lepas dari krisis-krisis kehidupan.

Krisis pertama terjadi ketika Yusuf dan Maria masih bertunangan. Maria ternyata hamil sebelum pernikahan. Yusuf belum tahu bahwa Maria dipilih Allah untuk menjadi ibu sang Mesias. Karena itu ia berencana untuk berpisah dari Maria.

Yusuf baru memahami kenyataan yang sesungguhnya setelah Allah menyampaikan wahyu kepadanya. Dan, syukurlah, Yusuf percaya akan wahyu ilahi dan bersedia mengambil Maria sebagai isterinya (Mat 1:20-25).

Krisis kedua terjadi ketika kanak-kanak Yesus berada dalam bahaya. Yusuf dan Maria terpaksa mengungsi ke Mesir, karena raja Herodes mau membunuhNya (Mat 2:13-15).

Paus Leo XIII menunjuk Keluarga Kudus itu sebagai teladan bagi keluarga-keluarga kristen. Mengapa demikian? Karena semua anggota Keluarga Kudus itu selalu mencari dan menaati kehendak Allah!

C. Perkawinan Akwila dan Priskila.

Akwila dan Priskila merupakan pasangan suami-isteri kristen pada abad pertama. Kunci kebahagiaan hidup mereka terletak pada iman mereka kepada Kristus dan kemampuan mereka untuk sungguh-sungguh “hidup bersama-sama”. Kekompakan mereka sebagai suami-isteri tampak dalam hidup bersama, bekerja bersama, dan dalam menjalani profesi yang sama (Kis 18:2). Mereka adalah pembuat kemah.

Rahasia keberhasilan perkawinan mereka terletak pada :

- Kesatuan dalam pertobatan : berkat perkenalan mereka dengan Paulus, yang juga bekerja sebagai tukang kemah, Akwila dan Priskila bertobat bersama-sama ; mereka menyatakan secara terbuka bahwa mereka bersedia menerima Yesus sebagai Juruselamat dan Penebus dosa ; kebersamaan ini mendorong mereka mempelajari Firman Tuhan demi pertumbuhan iman dan pemantapan pelayanan bersama.

- Kesatuan dalam panggilan : mereka meninggalkan rumah dan perusahaan mereka di Korintus untuk menyertai Paulus dalam perjalanan penginjilan ; mereka yakin bahwa panggilan Tuhan merupakan kendaraan untuk meninggalkan pekerjaan mereka, demi pewartaan Injil.

- Kesatuan dalam pelayanan : mereka bersatu dalam pelayanan bersama, tanpa halangan, iri hati, maupun rasa rendah diri ; mereka melayani Tuhan bersama-sama dan saling melengkapi ; mereka melayani bersama dengan penuh dedikasi ; mereka tak hanya mempersembahkan diri kepada Tuhan, melainkan juga merelakan rumah mereka menjadi tempat persekutuan bagi orang yang percaya (1 Kor 15:19).

Kebersamaan Akwila dan Priskila dalam perkawinan, pertobatan, panggilan dan pelayanan, memberi kesimpulan kepada kita, bahwa

perkawinan yang diserahkan seluruhnya kepada Allah mempunyai arti yang besar bagi siapa pun, yang ingin meraih kebahagiaan dalam hidupnya.

D. Pertanyaan refleksi :

1. Hikmah apa sajakah yang dapat saya tarik dari kehidupan perkawinan tiga pasangan hidup dalam Kitab Suci itu?

2. Keteladanan mana yang cocok untuk saya, yang dapat saya wujudkan dalam hidup perkawinan saya?

DAFTAR PUSTAKA

1. Maurice Eminyan, “Teologi Keluarga”, Kanisius 2001.

2. Ed Wheat, MD & Gloria Okes Perkins, “Cinta Dan Kemanusiaan”, Yayasan Pekabaran Injil “Immanuel”, 1999.

3. H. Norman Wright, “Komunikasi Kunci Pernikahan Bahagia”,

Gloria Graffo, cetakan kedua ( 2003 )

4. Joice Coon, Isaac & Margaret Sembiri, “Rencana Allah Bagi Rumah Tangga Kristen”, Yayasan Kalam Hidup, 1978.

5. Ignatius Wignyasumarta, “Panduan Rekoleksi Keluarga”,

Kanisius, 2000.

6. Kassoy, J.“Menuju Kebahagiaan Kristiani Dalam Perkawinan”

Gandum Mas ( 1994 )

7. D. Scheunemann, “ Romantika Kehidupan Suami Isteri”

Gandum Mas – cetakan kedua, 1988.

8. Henry Brandt & Kerry L. Skinner, “ Marriage God’s Way”

Gospel Bess, PO Box 238, Batam Centre 29432.

9. Fr. Chuck Gallagher, SJ, “Love Is Couple”, New York, 1926.

10. Paul Pearsall, Ph.D, “ Rahasia Kekuatan Keluarga”

Pustaka Delapratasa, Jakarta, 1996.

11. Anthony Bellagamba, IMC, “ Marriage Enrichment”,

Published by Daughters of Saint Paul, Philipines, 1995.


No comments: