Monday 5 March 2007

KK06 Pasutri Panggilan Dan Perutusan

PENGANTAR

Sebagian dari pasangan-pasangan suami-istri katolik sudah tahu cukup banyak dan cukup mendalam tentang panggilan dan perutusan yang mereka terima dari Tuhan, melalui perkawinan dan hidup berkeluarga, yang sedang mereka jalani. Namun, sebagian yang lain hanyalah tahu sedikit dan kurang mendalam tentang hal itu. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai hal.

Bagaimana pun, kiranya kita semua setuju, bahwa pemahaman yang cukup tentang perkawinan dan hidup berkeluarga itu berguna dan perlu bagi semua pasangan suami-istri, juga mereka yang beriman katolik.

Hal itulah yang mendorong kami untuk menyusun buku tipis ini dan mempersembahkannya bagi para pasangan suami-istri katolik. Sebagian besar isinya sudah pernah kami tulis dan kami terbitkan dalam majalah Hidup, dalam rubrik Konsultasi Keluarga.

Bagian terbesar dari buku tipis ini membahas beberapa hal pokok tentang perkawinan, yakni tentang : Ajaran Gereja katolik tentang perkawinan; Hakikat perkawinan; Tujuan perkawinan; Sifat-sifat perkawinan; Kawin-campur; dan Penghayatan perkawinan sakramental.

Bagian akhir dari buku tipis ini membahas dua pokok saja tentang keluarga, yakni tentang: Panggilan dan perutusan keluarga katolik; Tantangan dari masyarakat.

Penyusun

I. PERKAWINAN KATOLIK

A. Ajaran Gereja Katolik

1. Ajaran Kitab Suci

Ajaran Kitab Perjanjian Lama tentang perkawinan antara lain tampak dalam kitab Kejadian pasal 1 dan pasal 2, yang ditulis oleh dua pujangga dari zaman yang berbeda. Penulis kitab Kejadian pasal 1 menegaskan bahwa pria dan wanita pertama diberkati oleh Sang Pencipta dan diberi tugas untuk beranakcucu, memenuhi bumi, dan memelihara bumi. Sementara itu, penulis kitab Kejadian pasal 2, yang hidup pada zaman yang berbeda, menyarankan kepada seorang pria untuk mau meninggalkan ayah dan ibunya agar dapat bersatu sepenuhnya dengan isterinya.

Ajaran lain dari Kitab Perjanjian Lama tentang perkawinan tampak misalnya dalam kitab nabi Hosea pasal 1-3. Di sana terungkap, bahwa penulisnya melihat perkawinan antara nabi Hosea dan isterinya sebagai lambang dari “perkawinan suci” antara Yahwe dan umat Israel.

Meskipun selalu mengecam perzinahan (seperti tampak misalnya pada 2 Sam 12), Kitab Perjanjian Lama toh cukup toleran terhadap praktik-praktik perceraian.

Berbeda dengan itu, Kitab Perjanjian Baru menolak perceraian secara tegas. Menurut ketiga Injil, misalnya, Yesus mengajarkan bahwa suami dan isteri tidak boleh diceraikan, sebab mereka sudah “disatukan oleh Allah sendiri” (Mrk 10; Mat 19; Luk 16).

Ajaran Yesus itu ditegaskan lagi oleh santo Paulus, seperti misalnya tampak dalam surat 1 Korintus pasal 7. Di sana Paulus mengungkapkan, bahwa Yesus melarang perceraian. Walaupun demikian, santo Paulus toh menyarankan suatu pengecualian. Menurut Paulus, seorang kristen boleh menerima ajakan bercerai dari pasangannya yang tak-beriman, bila perkawinan beda-agama itu jelas-jelas menghalangi pihak kristen menghayati imannya kepada Kristus.

Dalam suratnya kepada umat Efesus, Paulus tampaknya meneguhkan dan mengembangkan pandangan penulis kitab Hosea pasal 1-3. Di sana ia memberi nasihat kepada para suami-istri kristen, agar mereka saling mengasihi seperti Kristus mengasihi Gereja (Ef 5:21-33). Di sana ia melihat Kristus sebagai “mempelai” Gereja, dan Gereja sebagai “mempelai” Kristus.

2. Ajaran Gereja Katolik

Sejak abad-abad pertama, para pemimpin Gereja menegaskan ajaran Yesus, bahwa pada dasarnya suami-istri tidak dapat diceraikan. Walaupun demikian, selalu ada perdebatan tentang saat dan jenis perkawinan yang tidak dapat diceraikan itu. Perdebatan itu barulah berhenti pada abad ke-12. Pada saat itu Paus Aleksander III menegaskan bahwa sebuah perkawinan mulai sah setelah kedua suami-istri mengucapkan janji nikah. Namun ditambahkannya bahwa mereka barulah tak-terceraikan setelah mereka melakukan hubungan seks.

Sejak abad-abad pertama pula, para pemimpin Gereja menegaskan bahwa perkawinan antara dua orang beriman merupakan lambang dari “perkawinan suci” antara Kristus dan Gereja. Penegasan itulah yang mendorong pemimpin Gereja dalam konsili di Verona pada tahun 1184 mengakui, bahwa perkawinan antara dua orang kristen merupakan sebuah sakramen, seperti baptis, tobat, dan Ekaristi.

Melengkapi ajaran itu, pada tahun 1199, Paus Innocentius III menyampaikan pandangannya kepada uskup Hugo di Ferrara, bahwa perkawinan beda agama, antara seorang kristen dan seorang bukan kristen, bukanlah sebuah sakramen.

Sejak abad-abad pertama, para pemimpin Gereja mengajarkan dengan tegas bahwa perkawinan orang-orang kristen berciri monogam. Ajaran itu ditegaskan lagi dengan lebih kuat pada abad ke-16, ketika para misionaris Eropa mewartakan Injil di benua Asia dan Afrika, tempat praktik poligami dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Pemimpin Gereja mengajarkan, bahwa seorang poligam barulah boleh dibaptis setelah berjanji untuk hidup bersama hanya dengan salah satu saja dari istri-istrinya.

Pada tahun 1917, pemimpin Gereja katolik menerbitkan Kitab Hukum Kanonik. Di sana antara lain ditegaskan, bahwa tujuan pertama dari perkawinan adalah pengadaan keturunan.

Ketentuan tersebut dipersoalkan oleh sebagian teolog, terutama oleh para teolog Jerman. Mereka berpendapat bahwa tujuan pertama dari perkawinan adalah kesatuan suami-istri.

Pada tahun 1983, dalam Kitab Hukum Kanonik yang baru, Gereja katolik tidak lagi mempertahankan ketentuan dalam Kitab Hukum Kanonik tahun 1917 tersebut. Keturunan tidak lagi dilihat sebagai tujuan utama dari perkawinan.

Meskipun demikian, pada tahun 1968, dalam dokumennya yang berjudul “Humanae Vitae”, Paus Paulus VI mengajarkan, bahwa secara moral setiap hubungan seks suami-istri harus tetap dibiarkan “terbuka pada keturunan”. Ajaran ini kemudian dibela oleh Paus Yohanes Paulus II maupun Paus Benediktus XVI.

B. Hakikat Perkawinan

Hakikat perkawinan dapat dilihat dari tiga sudut pandang yang berbeda, yakni sudut pandang yuridis, sudut pandang psikologis, dan sudut pandang religius. Ketiga sudut pandang itu saling melengkapi. Maka, hakikat perkawinan hanyalah dapat dipahami dengan baik bila ketiga sudut pandang tersebut diperhatikan bersama-sama.

1. Sudut Pandangan Yuridis

Dilihat dari sudut pandang yuridis, perkawinan pada hakikatnya merupakan suatu ikatan yang sah antara seorang pria dan seorang wanita, sebagai suami dan istri.

Menurut hukum Gereja katolik, perkawinan seorang katolik (baik dengan seorang katolik maupun dengan seorang bukan-katolik), merupakan sebuah ikatan yang sah bila perkawinan tersebut memenuhi tiga syarat berikut.

Pertama, pada saat menikah, suami-istri itu tidak terkena halangan-perkawinan apapun, baik halangan-halangan yang bersifat kodrati maupun halangan-halangan yang bersifat Gerejani.

Kedua, pada saat menikah, suami-istri itu sungguh-sungguh sepakat untuk menghayati perkawinan secara benar. Mereka tidak hanya berpura-pura. Mereka tidak berbohong.

Ketiga, pada saat menikah, kesepakatan nikah mereka itu mereka ucapkan di hadapan dua saksi yang sudah dewasa dan seorang pejabat yang berwenang. Pada umumnya, pejabat tersebut adalah seorang diakon, imam, atau Uskup.

2. Sudut Pandang Psikologis

Dilihat dari sudut pandang psikologis, perkawinan pada hakikatnya merupakan persatuan menyeluruh antara seorang pria dan seorang wanita, yang masing-masing tetap unik. Persatuan tersebut sudah dirintis sebelum menikah, kemudian ditegaskan dan dijanjikan pada upacara pernikahan, dan akhirnya diteruskan selama mereka berdua masih hidup di dunia ini.

Proses persatuan antara suami dan istri itu terjadi terutama dengan lima cara pokok berikut.

Pertama, mereka bersatu melalui hubungan seks, yang mempersatukan mereka secara fisik maupun secara psikis. Keharmonisan di bidang seks mendukung keharmonisan di bidang-bidang yang lain.

Kedua, mereka bersatu dengan hidup se-rumah, sehingga mereka dapat semakin saling mengenal, dan dengan demikian juga dapat semakin saling menyayangi.

Ketiga, mereka bersatu dengan menyatukan uang dan harta mereka. Penghasilan suami adalah penghasilan istri, dan sebaliknya. Belanja istri adalah belanja suami, dan sebaliknya.

Keempat, mereka bersatu dengan memadukan perasaan, pikiran, dan kemauan mereka. Dalam perbedaan, mereka berusaha mencari titik-temu, agar perbedaan itu tidak memisahkan atau menceraikan mereka.

Kelima, mereka bersatu dengan mencocokkan religiositas mereka. Mereka berusaha hidup dekat dengan Tuhan tidak hanya sebagai dua individu, melainkan sebagai “satu pasangan”.

3. Sudut Pandang Religius

Dilihat dari sudut pandang kristiani, setiap perkawinan yang sah merupakan lambang dari “perkawinan suci” antara Allah dan umatNya.

Selanjutnya, perkawinan yang sah antara dua orang yang sudah dibaptis secara sah pula, menurut Gereja katolik, merupakan salah satu dari ketujuh sakramen. Seperti sakramen-sakramen yang lain, sakramen perkawinan merupakan saluran rahmat. Sakramen perkawinan menyalurkan bantuan ilahi, yang membantu suami-istri kristen, sehingga mereka semakin mampu saling mengasihi, seperti Kristus dan umatNya saling mengasihi.

C. Tujuan Perkawinan

Menurut ajaran Gereja katolik, perkawinan mempunyai dua tujuan pokok. Yang pertama adalah kebersamaan seumur hidup sebagai suami-istri. Sedang yang kedua adalah pengadaan dan pendidikan anak-anak mereka. Suami-istri diharap berusaha mencapai kedua-duanya, sesuai dengan kemampuan mereka.

1. Kebersamaan Seluruh Hidup

Gereja katolik berharap bahwa dua orang yang menikah sama-sama mau dan mampu membina hidup bersama, seumur hidup mereka.

Berdasarkan prinsip tersebut, suami-istri diharap mau dan mampu hidup bersama. Mereka hanya boleh berpisah untuk sementara, bila ada alasan yang sangat kuat. Bila alasan itu tidak ada lagi, mereka harus segera hidup bersama lagi.

2. Keturunan

Gereja katolik juga berharap bahwa dua orang yang menikah sama-sama mau dan mampu menurunkan dan mendidik anak-anak. Karena itulah, Gereja menentang perkawinan yang secara sengaja dibuat mandul. Menurut hukum Gereja, perkawinan semacam itu merupakan perkawinan yang tidak sah. Dan bersamaan dengan itu, Gereja katolik juga menentang tindakan pemandulan tetap. Kemandulan tetap hanya dapat dibenarkan bila hal itu merupakan akibat samping dari suatu tindakan terapeutik, yang memang terpaksa dilakukan karena alasan medis yang berat.

D. Sifat-Sifat Perkawinan

Menurut ajaran Gereja katolik, setiap ikatan perkawinan haruslah bersifat monogam dan tak-terputuskan. Monogam berarti antara satu pria dan satu wanita. Tak-terputuskan berarti tidak terpisahkan, tidak terceraikan. Kedua sifat itu sama-sama pentingnya, maka setiap suami-isteri diharap memperjuangkan kedua sifat tersebut.

1. Monogam

Gereja mengajarkan bahwa setiap suami hanyalah dapat memiliki seorang istri saja, demikian pula sebaliknya. Karena itulah Gereja katolik hanya mengakui satu orang suami sah dan satu orang istri sah.

Seorang pria yang punya beberapa istri, misalnya, barulah boleh dibaptis dalam lingkungan Gereja katolik setelah ia memilih satu istri saja dan “memisahkan diri” dari istri-istrinya yang lain. Idealnya, istri yang dipilih adalah istri yang juga mau dibaptis.

2. Tak Terputuskan

Gereja katolik juga menegaskan bahwa setiap pasangan suami dan istri harus menjalani perkawinan mereka seumur hidup mereka. Gereja katolik menolak perceraian antara dua orang yang sudah menjadi suami-istri yang sah. Penolakan itu didasarkan pada sabda Yesus sendiri.

Apa yang dapat dilakukan oleh seorang suami atau seorang istri katolik, yang tidak tahan lagi hidup bersama dengan pasangan hidupnya? Menurut hukum Gereja katolik, yang dapat dilakukannya hanyalah “pisah ranjang dan meja makan” dari pasangan hidupnya. Tindakan itu pun barulah boleh dilakukan setelah ada izin resmi dari pimpinan Gereja yang berwenang.

E. Penghayatan Perkawinan Sakramental

Menurut ajaran Gereja katolik, perkawinan yang sah antara dua orang, yang sudah dibaptis secara sah pula, merupakan sebuah sakramen. Bagaimana sakramen perkawinan itu dapat dihayati?

1. Lambang Kehadiran Kristus

Sakramen adalah lambang, yang menandakan kehadiran Kristus. Maka, seperti keenam sakramen yang lain, sakramen perkawinan juga melambangkan kehadiran Kristus di tengah-tengah suami-istri kristen. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan sakramen perkawinan bukanlah upacara liturgi pernikahan di depan pastor dan dua saksi, yang hanya berlangsung selama satu atau dua jam itu, melainkan kehadiran Kristus di tengah-tengah suami-istri kristen, selama kedua-duanya masih hidup, sejak menikah secara sah sampai salah satu dipanggil Tuhan.

2. Lambang Pemberian Rahmat

Kehadiran Kristus dalam sakramen bukanlah kehadiran yang pasif. Kehadiran itu bersifat sangat aktif dan kreatif. Menurut keyakinan katolik, melalui sakramen perkawinan Kristus hadir di tengah suami-istri kristen, untuk memberikan rahmat khusus kepada mereka. Rahmat ilahi itu menyempurnakan kasih antara suami dan istri kristen, dan memberdayakan mereka sehingga keduanya makin mampu saling mengasihi.

3. Ungkapan Iman Kepada Kristus

Sebuah sakramen tidaklah hanya mengungkapkan kehadiran Kristus dan pemberian rahmat olehNya, melainkan juga mengungkapkan iman umat kristen kepadaNya.

Yang diungkapkan di sana bukan hanya iman orang yang menerima sakramen itu sendiri, melainkan iman seluruh umat kristen, termasuk di dalamnya iman pastor yang menerimakan sakramen dan iman orang-orang kristen yang hadir dalam perayaan sakramen tersebut.

4. Perayaan Iman Kepada Kristus

Dalam setiap perayaan sakramen, orang kristen tidak hanya mengungkapkan iman kepada Kristus, melainkan juga merayakannya, bersyukur atasnya.

Dalam setiap sakramen, orang kristen bersyukur atas imannya kepada Kristus. Dalam dan melalui sakramen perkawinan, suami-istri kristen bersyukur kepada Kristus, karena Ia telah memberikan kepada mereka rahmat ilahiNya, yang menyempurnakan kasih manusiawi mereka.

5. Penghayatan Perkawinan Sebagai Sakramen

Sakramen perkawinan haruslah dihayati seumur hidup, terutama dengan saling mengasihi. Dengan cara itulah suami-istri kristen memberi kesaksian kepada masyarakat, bahwa Kristus menyayangi mempelaiNya, yakni segenap umat kristen, dengan kasih yang utuh dan setia.

Tetapi, kasih itu apa? Menurut santo Paulus, seperti tampak dalam suratnya yang pertama kepada umat Korintus, kasih berarti kehendak dan tindakan yang baik. Mengasihi berarti berniat dan bersikap sabar, murah hati, rendah hati, sopan, rela menanggung segala sesuatu, dan dapat menyimpan rahasia (1 Kor 13:1-7).

F. Perkawinan Campur

Yang dimaksud dengan perkawinan campur adalah perkawinan antara dua orang yang punya latar belakang berbeda. Hukum Gereja katolik mengatur dua macam perkawinan campur, yakni : perkawinan beda-agama dan perkawinan beda-Gereja. Sementara itu, hampir semua negara mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraannya.

1. Perkawinan Beda-Agama

Yang dimaksud dengan perkawinan beda-agama ialah perkawinan antara seorang katolik dan seorang bukan-kristen, seorang yang belum dibaptis, misalnya : seorang yang beragama Islam, Hindu, atau Budha.

Secara umum, Gereja katolik kurang mendukung perkawinan semacam itu. Bukan karena kurang menghormati agama lain, melainkan karena melihat kemungkinan adanya banyak masalah dalam perkawinan seperti itu. Menjelang pernikahan, mungkin muncul masalah mengenai cara-menikahnya. Gereja katolik menuntut bahwa kedua mempelai menikah satu kali saja, secara katolik, yakni di hadapan seorang pastor katolik. Agama lain, misalnya Islam, juga menuntut bahwa kedua mempelai menikah satu kali saja, namun secara Islam, yakni di hadapan seorang ulama Islam. Sesudah kelahiran anak, mungkin muncul masalah mengenai pembaptisan anak itu. Pihak katolik mungkin ingin membaptiskan anak itu secepatnya. Sebaliknya, pihak bukan-katolik mungkin berkeberatan atas rencana tersebut.

2. Perkawinan Beda-Gereja

Yang dimaksud dengan perkawinan campur beda-gereja adalah perkawinan antara seorang katolik dan seorang kristen-bukan-katolik, seorang yang sudah dibaptis dalam sebuah gereja kristen-bukan-katolik.

Secara umum, Gereja katolik kurang mendukung perkawinan semacam itu. Bukan karena kurang menghargai Gereja kristen-bukan-katolik, melainkan karena melihat kemungkinan adanya beberapa masalah berikut dalam perkawinan seperti itu.

Saat pernikahan, mungkin muncul masalah mengenai cara-menikahnya. Gereja katolik menuntut bahwa kedua mempelai menikah hadapan seorang pastor katolik. Sementara itu, beberapa Gereja kristen-bukan-katolik menuntut bahwa kedua mempelai menikah di hadapan seorang pendeta kristen-bukan-katolik.

Setelah kelahiran anak, mungkin muncul masalah mengenai pembaptisan anak. Anak itu akan dibaptis di Gereja yang mana? Di Gereja katolik? Atau di Gereja kristen-bukan-katolik? Siapa yang berhak menentukan hal itu : suami atau istri?

3. Perkawinan Beda-Kewarganegaraan

Yang dimaksud dengan perkawinan beda-kewarganegaraan adalah perkawinan antara seorang WNI (Warga Negara Indonesia) dan seorang WNA (Warga Negara Asing).

Gereja tidak mempersoalkan maupun mengatur perkawinan semacam itu. Yang mengatur perkawinan seperti itu adalah negara. Di negeri kita, misalnya, hal itu diatur dalam Undang-Undang Perkawinan RI tahun 1974.

Yang kiranya perlu diperhatikan dalam perkawinan beda- kewarganegaraan adalah kaitan suami dan istri dengan negaranya masing-masing. Manakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami, menurut hukum negaranya? Dan mana pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban istri, menurut hukum negaranya?

4. Sikap Orangtua Katolik

Manakah sikap yang sebaiknya diambil oleh orang tua katolik bila salah satu anaknya berencana menikah dengan orang yang tidak-katolik?

Seperti Gereja, orang tua katolik sebaiknya berusaha mencegah anaknya untuk melaksanakan perkawinan beda-agama maupun perkawinan beda-Gereja. Sekali lagi, bukan karena kurang menghargai agama atau Gereja lain, melainkan karena melihat kemungkinan adanya masalah-masalah, seperti telah disebut di atas. Bila rencana perkawinan beda-agama itu tidak dapat dicegah, entah karena sebab mana pun, orang tua sebaiknya berusaha agar anak mereka menikah secara katolik saja, yakni di hadapan seorang pastor.

Sementara itu, bila rencana perkawinan beda-Gereja tidak dapat dicegah, entah karena sebab mana pun, orang tua sebaiknya berusaha agar anak mereka menikah secara katolik saja, yakni di hadapan seorang pastor, atau secara ekumenis, yakni di hadapan seorang pastor dan seorang pendeta, yang memberkati kedua mempelai bersama-sama. Bila pernikahan sudah terlanjur dilaksanakan tidak secara katolik, orang tua katolik sebaiknya berusaha agar anak mereka dan pasangannya bersedia memperbarui janji-nikah mereka di hadapan seorang pastor, agar perkawinan mereka menjadi sah menurut hukum Gereja katolik.

5. Pendampingan Bagi Pasangan Kawin-Campur

Gereja diharap mengusahakan pastoral khusus bagi pasangan-pasangan kawin-campur, misalnya dengan cara-cara berikut :

a. Kunjungan di rumah pasangan kawin-campur, agar suami-istri yang bersangkutan tidak merasa disingkirkan dari lingkungan umat katolik.

b. Ceramah, sarasehan, atau dialog bagi pasangan kawin-campur, agar suami-istri yang bersangkutan makin berdaya menghayati perkawinan mereka.

c. Konseling bagi suami atau istri, yang menghadapi kesulitan dalam menghayati perkawinan campurnya.

II. KELUARGA KATOLIK

A. Panggilan dan Perutusan Keluarga Katolik

Menurut ilmu manajemen yang modern, suatu kelompok manusia hanyalah dapat sungguh-sungguh “produktif” bila kelompok itu memahami dengan baik visi dan misinya.

Sejalan dengan itu, keluarga katolik kiranya hanya dapat menjadi “garam yang asin” dan “pelita yang menerangi” masyarakat, bila ia memahami visi dan misinya. Atau, dalam bahasa kristiani : panggilan dan perutusannya. Berikut adalah visi dan misi, panggilan dan perutusan, dari setiap keluarga katolik.

1. Menjadi Gereja Kecil

Beberapa puluh tahun terakhir ini makin sering dikatakan, bahwa keluarga katolik dipanggil untuk menjadi Gereja kecil, atau Gereja mini, atau Gereja rumah tangga. Istilah Latin-nya : ecclesiola, atau ecclesia domestica.

Pada dasarnya, yang dimaksud dengan Gereja atau ecclesia adalah paguyuban umat beriman. Maka, sebuah keluarga katolik hanya layak disebut sebagai sebuah Gereja kecil bila anggota-anggota keluarga tersebut sungguh-sungguh guyub dan sekaligus beriman.

Sebuah kelompok manusia layak disebut sebagai sebuah paguyuban bila para anggotanya cukup rukun, bersatu, dan akrab. Kelompok semacam itu lebih merupakan sebuah communitas daripada sebuah societas. Sebuah communitas ditandai oleh kesatuan batin yang didasarkan pada unsur-unsur psikis atau religius. Sementara itu, sebuah societas ditandai oleh kesatuan lahiriah yang didasarkan pada unsur-unsur yuridis atau sosiologis.

Sebuah communitas layak disebut sebagai sebuah Gereja atau ecclesia bila para anggota dari communitas tersebut adalah orang-orang yang beriman, dengan ciri pokok : menghormati dan mengasihi Allah. Maka keluarga katolik, seperti halnya Gereja, tidak hanya bersifat guyub atau akrab, melainkan juga bersifat religius, sungguh-sungguh beriman kepada Allah.

2. Menjadi Sel Pembangun Gereja

Keluarga katolik tidak dapat dan tidak boleh peduli pada kepentingannya sendiri saja. Ia bukanlah sebuah Gereja kecil yang terpisah dari Gereja-Gereja kecil yang lain. Ia merupakan sebuah sel dari Gereja yang lebih luas, yakni Gereja lingkungan, Gereja wilayah, Gereja paroki, Gereja keuskupan.

Karena itu, keluarga katolik diharap menghayati dirinya sebagai sebuah sel dari Gereja yang lebih luas. Sebagai Gereja kecil, keluarga katolik dibangun dan membangun Gereja setempat. Mereka diharap ikut terlibat dalam kehidupan beriman umat setempat, baik di tingkat lingkungan, wilayah, paroki, maupun keuskupan. Sebaliknya, umat lingkungan, wilayah, paroki, maupun keuskupan diharap mempunyai kepedulian pada keluarga-keluarga yang ada di dalam batas-batas teritorial-nya.

3. Menjadi Sel Pembangun Masyarakat

Setiap keluarga, termasuk keluarga katolik, merupakan sebuah sel dari masyarakat luas. Anggota-anggota keluarga katolik dibangun dan ikut membangun masyarakat di sekitar rumahnya, baik di tingkat rukun tetangga, rukun warga, maupun kampung dan kota.

Sebagai sebuah sel dari masyarakat luas, keluarga dipengaruhi oleh kondisi masyarakat luas, antara lain oleh kondisi budayanya. Baik unsur-unsur budaya tradisional maupun unsur-unsur budaya modern yang bersifat global punya pengaruh pada keluarga. Pengaruh itu bisa positif, bisa juga negatif.

Sebaliknya, keluarga diharap berusaha untuk ikut mempengaruhi masyarakat luas. Keluarga katolik diharap menjadi “garam yang meng-asin-i” dan “pelita yang menerangi” masyarakat.

sekitarnya. Memang, pengaruh itu barangkali tidak kuat. Meskipun demikian, pengaruh tersebut tetap punya makna positif bagi masyarakat luas.

4. Menjadi Tempat Pendidikan Utama dan Pertama

Rumah dan keluarga dipanggil dan diutus menjadi tempat pendidikan yang utama dan pertama. Di sanalah anak-anak mulai dididik dalam segala hal yang baik. Pendidikan di rumah tidak pernah tersaing maupun tergantikan. Pendidikan di sekolah maupun di tempat-tempat lain hanyalah bersifat melengkapi dan melanjutkan pendidikan di rumah dan keluarga tersebut.

Setiap keluarga katolik juga dipanggil dan diutus menjadi tempat pembenihan panggilan. Artinya : menjadi tempat bertumbuhnya iman, sedemikian rupa sehingga anak katolik yang diasuh dan dididik dalam keluarga tersebut mampu menyadari panggilan Tuhan atas dirinya.

Pertama, setiap anak katolik dipanggil untuk hidup secara manusiawi. Artinya : hidup sesuai dengan martabat dan kemampuannya yang khas sebagai manusia. Ia diharap mau dan mampu hidup dengan menggunakan perasaannya, pikirannya, hatinuraninya, dan kehendak bebasnya.

Kedua, setiap anak katolik dipanggil untuk hidup secara kristiani. Artinya : hidup sesuai dengan martabat dan kemampuannya yang khas sebagai seorang kristen. Ia diharap mau dan mampu hidup dengan meng-imani, mengandalkan, dan mengasihi Kristus.

Ketiga, setiap anak katolik dipanggil untuk hidup secara katolik. Artinya : hidup sesuai dengan martabat dan kemampuannya yang khas sebagai seorang katolik. Ia diharap mau dan mampu hidup dengan berpegang pada Kitab Suci dan Tradisi Katolik.

5. Menjadi Komunitas Mistik

Setiap keluarga katolik dipanggil dan diutus menjadi sebuah komunitas mistik. Artinya : menjadi komunitas yang akrab dengan Allah, juga ketika masyarakat di sekitarnya sangat jauh dariNya. Keakraban dengan Allah itu dapat diupayakan dengan dua cara pokok, yakni dengan doa-doa dan dengan membaca Kitab Suci. Tentu saja, doa-doa dan pembacaan Kitab Suci itu perlu dilakukan dengan tulus ikhlas dan tekun, agar kedua cara itu benar-benar menghasilkan buah yang berlimpah

Pada dasarnya, doa merupakan usaha manusia untuk berkomunikasi langsung dengan Allah. Isinya bisa beraneka macam, misalnya : menyembah, memuja, memuji, atau meluhurkan Allah. Landasan pokok dari doa itu adalah kesadaran dan pengakuan bahwa Allah memang pantas untuk dihormati dan dikasihi.

Sebaliknya, Kitab Suci memuat pewahyuan diri Allah kepada manusia. Maka, membaca Kitab Suci berarti membiarkan Allah mewahyukan diriNya, membiarkan Allah bersabda lagi kepada manusia.

B. Tantangan Dari Masyarakat

Sebagai unit-unit terkecil dari masyarakat luas, keluarga-keluarga katolik tidak kebal terhadap pengaruh-pengaruh dari masyarakat luas. Pengaruh-pengaruh itu memuat beberapa tantangan terhadap keluarga-keluarga katolik.

Bila dihadapi dan ditangani secara tepat, tantangan-tantangan itu dapat menjadi peluang. Sebaliknya, bila dihadapi dan ditangani secara keliru, tantangan-tantangan itu justru menjadi ancaman.

1. Tantangan dari Masyarakat Dunia

Tantangan pertama berada di bidang budaya. Proses globalisasi di seluruh dunia menyebarkan suatu budaya baru, yang sering kali disebut dengan istilah pop culture. Budaya pop yang sangat cepat berubah tersebut memiliki unsur-unsur positif, yang pantas dihargai, maupun unsur-unsur negatif, yang perlu diwaspadai.

Unsur negatif yang kiranya paling perlu diwaspadai ialah kecenderungannya ke arah sikap liberalistik. Kecenderungan ke arah sikap liberalistik membuat cukup banyak orang menjunjung tinggi kebebasan pribadi secara berlebihan, melupakan kodratnya sebagai makhluk sosial.

Tantangan kedua berada di bidang ekonomi. Proses globalisasi ternyata menyebarkan sistem ekonomi neo-kapitalistik, yang di satu sisi dapat dengan mudah membuat beberapa orang menjadi kaya, namun di lain pihak dengan mudah pula meningkatkan kesenjangan ekonomi antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin.

Kemiskinan banyak orang di Indonesia saat ini, misalnya, antara lain disebabkan oleh liberalisme di bidang ekonomi pada tingkat dunia. Pemerintah sulit menyejahterakan rakyat, antara lain, karena pemerintah harus menggunakan cukup banyak uang untuk membayar hutang-hutangnya kepada negara-negara kaya.

Tantangan ketiga berada di bidang agama. Proses globalisasi ternyata menyebarkan semangat sekularistik masyarakat Barat ke seluruh dunia. Semangat sekularistik itu membuat banyak orang makin jauh dari Allah. Kecenderungan tersebut dapat mempersulit keluarga-keluarga katolik dalam usaha mereka untuk menghayati iman kristiani mereka.

2. Tantangan dari masyarakat Indonesia

Karena kuatnya pengaruh neo-kapitalisme di seluruh dunia pada saat ini, kondisi ekonomi bangsa Indonesia semakin jauh tertinggal di belakang bangsa-bangsa maju dari Dunia Pertama dan Dunia Kedua. Bahkan, dibandingkan dengan beberapa bangsa tetangga pun, bangsa kita tergolong bangsa yang miskin. Data terakhir pada tingkat nasional menunjukkan besarnya jumlah orang miskin di Indonesia. Menurut data tersebut, sekitar 18 prosen penduduk negeri kita adalah orang miskin.

Kondisi ekonomi bangsa Indonesia itu punya dampak pada kondisi ekonomi keluarga-keluarga di negeri kita, termasuk keluarga-keluarga katolik. Berikut adalah masalah ekonomi yang dialami oleh keluarga-keluarga di negeri kita : pengangguran kepala dan/atau anggota keluarga; tidak adanya tabungan keluarga; tekanan utang keluarga; dan lemahnya kemampuan keluarga membiayai pendidikan formal anak-anak mereka.

Di bidang agama, mayoritas penduduk Indonesia tidak beriman kepada Kristus. Warga negara yang memeluk agama katolik hanyalah sekitar tiga prosen saja dari seluruh warga bangsa. Kondisi ini punya pengaruh pada umat katolik, antara lain pada tingginya angka perkawinan beda-agama maupun perkawinan beda-gereja di negeri kita.

No comments: