Monday 5 March 2007

KK05 Perlindungan Anak

KATA PENGANTAR

Umat kristiani,bersama dengan siapa saja yang menjunjung tinggi rukun hidup itu, dengan tulus hati bergembira tentang pelbagai upaya, yang sekarang ini membantu orang-orang untuk makin mengembangkan rukun cinta kasih itu dan mengahayatinya secara nyata, dan menolong para suami istri serta orang tua dalam menjalankan tugas mereka yang luhur(GS 47).

Kelompok Kerja Bantuan Hukum (KKBH), sebagai anggota Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang, terpanggil untuk menyampaikan informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan anak, yang berkembang dalam masyarakat, dan peraturan perundangan yang berhubungan dengan perlindungan anak pada umumnya dan dalam keluarga pada khususnya.

KKBH bergerak dalam bidang pelayanan advokasi pada umumnya dan advokasi anak pada khususnya. Karya KKBH dimulai sejak 1992, dengan berlandaskan semangat “swa-bela”. Artinya : dalam pendampingan advokasi, KKBH mengajak masyarakat yang mempunyai masalah hukum untuk bersama-sama KKBH menyelesaikan permasalahannya. KKBH tidak mengambil alih permasalahan yang ada, melainkan bersama-sama masyarakat berusaha menyelesaikan masalah, agar masyarakat semakin mampu melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri.

Semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

KKBH

I. PENDAHULUAN

“Ada satu kata yang membebaskan kita dari beban hidup dan kepedihan, dan satu kata itu adalah Kasih”

Cinta dan kehidupan, itulah energi mendasar yang ingin kita raih dalam situasi seperti sekarang ini. Cinta bukanlah persoalan obyek, barang mati. Cinta adalah persoalan subyek, seorang pribadi. Sebuah semboyan berbunyi : “anak lahir untuk dicinta, bukan untuk dianiaya dan di sia-sia-kan”. Maka, orangtua diharap mengerti, bahwa anak adalah subyek, bukan obyek.

Sayang, kondisi riil masyarakat sekarang ini mudah sekali membelokkan kita dari semboyan di atas, membawa kita ke arah situasi ke-tidak-berdaya-an, atau bahkan ke arah tindak kekerasan terhadap anak-anak. Sepertri beberapa contoh berikut :.

Eka Suryana, bocah perempuan berusia 7 tahun,pada hari Senin pagi sekitar pukul 08.00, ditemukan sudah tak bernyawa. Mayatnya terkulai di atas kasur yang terhampar di lantai ruang tengah rumah bernomor 59, Blok A Perumahan Sengkang, sekitar 100 meter dari mushala tempatnya mengaji. Saat ditemukan, ada luka di bawah dagu kanannya. Dari hidung sampai leher terdapat bercak darah. Noda darah juga terlihat di celana anak itu. Dari penyelidikan polisi diketahui Eka meninggal akibat dicekik ibu tirinya, Idawati, malam sebelumnya. Sebelum dibunuh, korban diperkosa dan disodomi oleh Ambo Ase, paman tirinya.(Lihat: Kompas 8/1/2006)

Sementara itu, IbuWati, ditinggal suaminya. Ia harus menanggung hidup dengan ketiga anaknya. Karena putus asa, ibu Wati memaksa ketiga anaknya (11,8, dan 5 tahun) untuk mengakhiri hidup dengan minum racun serangga secara bersama-sama. Ia beranggapan bahwa dengan mengakhiri hidup mereka, maka berakhir pula tanggungjawabnya untuk mengasuh anak-anaknya

Akhirnya, Raju (8 Th) berkelahi dengan Armansyah (14 Th). Karena perkelahian itu, keduanya sama-sama cedera. Entah kenapa perkelahian itu terjadi. Armansyah menderita memar di bagian tulang rusuk. Keluarga Armansyah tidak bisa menrima kondisi anaknya tersebut dan melaporkan ke kepolisian. Kepolisian memproses, hingga dilanjutkan ke Kejaksaan, dan sampai tiba di persidangan. Karena dinilai berbelit-belit selama proses sidang, Rajupun ditahan di LP bersama orang dewasa selama 14 hari.

Anak adalah korban ketidak mampuan/ketidak berdayaan orang tua serta masyarakat pada umumnya dalam menghadapi masalah/situasi yang terjadi;padahal ditangan merekalah Negara dan bangsa ini akan diserahkan. Maka sungguh sangat di sayangkan apabila kita memperlakukan anak-anak secara sewenang-wenang.

Ada satu kisah yang dapat membuat kita tercengang, yang kiranya layak kita renungkan bersama :

Kemiskinan membawa bencana (Lihat: Basis, Mei-Juni 2003)

Drajat adalah seorang remaja 16 tahun, pandai di sekolahnya. Ia menduduki peringkat satu di kelas, meski tidak pernah mengikuti les privat. Keluarganya menghuni rumah kecil tipe 45 dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi dan ruang tami yang kecil. Pendek kata rumah yang sederhana.

Ayah dan ibunya bekerja di pasar, berjualan bahan kebutuhan sehari-hari. Pagi jam 08.00 mereka berangkat ke pasar, dan baru pulang ke rumah pukul 21.00. “Ayah dan ibuku sehabis dari pasar kadang harus bekerja di rumah sampai larut malam mempersiapkan dagangan untuk hari berikutnya”, kata Drajat suatu hari. Dalam keseharian, Drajat dan Rita, adiknya, berada di rumah berdua. Karena sepanjang hari mereka berkumpul bersama, maka hubungan kakak adik ini menjadi begitu dekat. Rita berusia 11 tahun, gadis kelas V SD yang cantik dan pandai. Suaranyapun merdu dan beberapa kali menjadi juara menyanyi.

Suatu hari Drajat datang dengan penuh kesedihan. Matanya berkaca-kaca, beberapa saat terdiam dengan muka merah padam dan pandangan kosong. “Saya ingin mati”, sepatah kata keluar dari mulutnya.

Dengan penuh ketegangan dia bercerita tentang pengalaman hidupnya. Dia mengatakan bahwa sudah setahun ini dia sering melakukan hubungan sex dengan adik kandungnya. Hubungan sex itu dilakukan di rumahnya karena dia tidur dengan adiknyadi satu kamar, meskipun mereka mempunyai tempat tidur sendiri-sendiri. Penyebab utamanya : dia sering melihat kedua orangtuanya saat mereka sedang melakukan hubungan sex pada malam hari.

Suatu ketika, ketika Drajat sedang melakukan hubungan sex dengan adiknya, ayahnya memergoki mereka. Drajat dipukuli bapaknya. Syukurlah, sambil menangis ibunya minta kepada bapaknya agar Drajat tidak diusir dari rumah.

Setelah kejadian itu, suasana rumah menjadi tidak enak. Drajat dan Rita tidak dapat belajar, nilai raport mereka menjadi jelek. Suasana rumah jadi kacau. Ibu sering sakit dan ayah menjadi pemarah. Drajat pun mengeluh : “Sampai kapan saya harus mengalami suasana keluarga seperti ini? Sementara keinginan untuk tidur dengan adikku kadang muncul dalam diriku. Rasa ingin marah muncul kalau ada teman laki-laki adikku datang, entah untuk pinjam buku, atau untuk keperluan lain.

Menghadapi situasi demikian, gereja hadir membawa kabar gembira, yakni pemerdekaan keluarga dari belenggu dosa. Keluarga merupakan jalan yang pertama dan terpenting di antara banyak jalan, lewat mana gereja hadir. Dalam keluarga-lah seorang pribadi mulai hadir di dunia dan menghayati kerahiman Allah, melalui kedua orangtuanya. Dalam keluarga itu pulalah seorang pribadi mulai mengenal kejahatan, melalui keburukan-keburukan kedua orangtuanya. (Lihat: Surat kepada keluarga 1994, 8-9)

Keluarga adalah penyalur rahmat dan cinta Tuhan kepada manusia. Melalui keluarga-lah hidup diwariskan dari pribadi ke pribadi, melalui prokreasi, melalui kehamilan dan kelahiran. Selain itu, keluarga sel pembangun masyarakat, yang diharap mengembangkan keutamaan-keutamaan sosial, khususnya dalam diri para anggotanya, dan lebih khusus lagi dalam diri anak-anak. (Lihat: Familiaris Consortio 33)

Istilah “anak” mengandung makna yang beraneka ragam, misalnya anak dalam kandungan, anak di bawah lima tahun, anak usia pra-sekolah, anak usia sekolah, anak baru gede, anak remaja, anak nakal, dsb. Namun siapapun mereka, anak adalah bagian dari keluarga, yang berada di bawah tanggungjawab orangtua mereka.

Menurut gereja, tanggungjawab orangtua itu berakar dalam panggilan Allah atas diri mereka, untuk meneruskan karya penciptaanNya. Maka orangtua punya hak dan kewajiban untuk mendidik anak. Hak dan kewajiban itu tidak tergantikan dan tidak bisa diambil alih. Orangtua dipanggil untuk mendidik anak, dengan kebenaran dan kasih sebagai norma utamanya. (Lihat: Familiaris Consortio 60-61)

II. ANAK-ANAK YANG MEMPRIHATINKAN

Pada tahun 2000 Unicef (United Nations Children’s Fund) memberikan laporan berikut (seperti dimuat dalam “Konvensi Hak Anak”, Lembaga Studi & Pembangunan, 2000, hal 6) :

No

Anak di Negara berkembang

jumlah

1

Tidak memiliki akses terhadap pendidikan dasar

130 juta

2

Bekerja di lingkungan yang berbahaya dan ter-eksploitasi

250 juta

3

Hidup dalam situasi genting dan berbahaya

250 juta

Secara lebih rinci Vivit Muntarbhorn (seperti dimuat dalam “Konvensi Hak Anak”, Lembaga Studi & Pembangunan, 2000, hal 6) mengidentifikasi kelompok-kelompok anak yang memprihatinkan sebagai berikut :

Anak-anak pedesaan : Sebanyak 70 % penduduk dunia, termasuk anak-anak, tinggal di pedesaan. Mereka seringkali tidak memiliki akses yang cukup terhadap pelayanan, sumber daya dan infrastruktur yang bisa membantu mengembangkan potensi mereka.

Anak-anak jalanan dan daerah kumuh perkotaan : Sebagian anak tinggal di jalan dan lingkungan yang kumuh, yang memudahkan terjadinya berbagai konflik. Perjudian, penyalahgunanaan obat dan kekerasan mudah terjadi. Anak-anak dibiarkan menjadi pedagang asongan atau berkeliaran di jalan, sehingga kesehatan fisik ,mental,serta moral berada di bawah kewajaran.

Anak perempuan : Kendati kesadaran terhadap kesetaraan jender semakin meningkat, tetap ada ketidakadilan terhadap anak-anak perempuan. Dalam hukum, diskriminasi di sebagian besar dunia telah dihapus. Tetapi dalam praktek, diskriminasi berdasarkan jender tetap ada. Salah satu buktinya adalah kenyataan bahwa tingkat buta huruf pada kaum perempuan lebih tinggi daripada pada kaum pria.

Pekerja anak : Konvensi Hak Anak menyebut tindakan “mem-pekerja-kan anak” dengan istilah “eksploitasi ekonomi terhadap anak”. Anak-anak dilihat sebagai korban. Sebab mereka belum memiliki kapasitas dan kesadaran penuh untuk memilih bekerja. Selain itu mereka juga belum dapat memahami risiko-risiko dari pekerjaan mereka. Mereka belum memahami konsekwensi dari perjanjian kerja yang mereka buat. Meskipun eksploitasi ekonomi terhadap anak telah dilarang, hal itu toh masih sering terjadi. Agen-agen tenaga kerja dan jaringannya menjadi penyalur yang mengirim anak-anak dari pedesaan ke pabrik-pabrik di kota. Pencegahan terhadap praktek-praktek semacam itu sulit dilakukan, karena lemahnya sistem penegakan hukum dan terbatasnya pengawasan pemerintah. Masih sedikitlah strategi yang di-desain pemerintah untuk mencegah kelompok-kelompok swasta melakukan eksploitasi ekonomi terhadap anak.

Pelacuran anak : Sungguh pantas disayangkan bahwa ada orangtua yang menjual anak perempuan mereka dan ada agen-agen yang memperjualbelikan gadis-gadis belia. Tindakan itu sering tidak tampak, karena terjadi dalam skala kecil. Apalagi hukum yang melarang pelacuran anak tidak dijalankan secara efektif. Bahkan seringkali terjadi kolusi antara berbagai pihak, yang mengatur perdagangan anak .

Anak-anak cacat : Banyak anak cacat tersingkir dari kehidupan masyarakat, karena mereka kurang punya akses terhadap pelayanan kebutuhan dasar. Jumlah anak cacat yang diterima di sekolah umum lebih rendah daripada jumlah anak normal, sementara sekolah umum juga kekurangan fasilitas khusus bagi anak cacat.

Anak-anak pengungsi dan tidak berkewarganegaraan : Jutaan anak pengungsi di seluruh dunia dihadapkan pada segala bentuk diskriminasi dan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Mereka dianggap imigran gelap, sehingga nasib mereka bergantung pada belas kasihan orang-orang, yang memperlakukan mereka lebih sebagai orang-orang dewasa daripada sebagai anak-anak, yang memiliki kebutuhan khusus.

Anak-anak dalam penjara : Meskipun PBB telah menetapkan berbagai standard administrasi seperti “The Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners”, termasuk perlindungan khusus bagi anak-anak, penerapannya toh belum memuaskan. Penyiksaan, pemukulan dan hukuman lain masih diberlakukan kepada anak-anak. Kasus Raju hanyalah sebuah „fenomena gunung es“. Artinya : bagian kelihatan dari suatu kenyataan yang sebenarnya jauh lebih besar!

Anak-anak korban kekerasan dan terlantar : Daftar anak korban kekerasan, terlantar dan ter-infeksi AIDS tak pernah berakhir. Selain menjadi korban kekerasan di rumah, mereka kadang-kadang juga menjadi korban kekerasan sosial yang merusak mental dan fisik. Kendati tak ada data statistik yang akurat tentang jumlah anak korban kekerasan, tindak kekerasan yang sudah diketahui sebenarnya sudah cukup untuk ditindaklanjuti, dengan serangkaian tindakan yang komprehensif.

Selain kelompok-kelompok di atas, masih ada beberapa kelompok lain yang juga memprihatinkan, seperti : anak yang butuh orangtua pengganti, anak dari kelompok minoritas, anak korban “broken home“, dan sebagainya.

III. UNDANG-UNDANG RI YANG MERUGIKAN ANAK

A. Undang-Undang No 3/ Th 1997 Tentang Peradilan Anak

Pasal 1 (1) menyatakan bahwa anak adalah orang yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Dengan ketentuan itu, anak nakal yang berumur 16 tahun dan pernah kawin akan kehilangan haknya untuk diadili sebagai anak. Sementara itu, pasal 4 (1) menyatakan bahwa seseorang mulai bertanggungjawab atas tindak kriminalnya sejak berusia 8 tahun, padahal “United Nations Standard Minimum Rules for the Administration Juvenille Justice 1985” (Beijing Rules) menyatakan : sejak berumur12 tahun. Ketentuan di negara kita itu jelas merugikan pihak anak.

B. Undang-Undang No 13/ Th 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pasal 69 menetapkan bahwa batas minimal usia kerja adalah 13 tahun. Padahal Konvensi ILO Nomor 138 menetapkan bahwa batas minimal usia kerja adalah 15 tahun. (lihat Arief Gosita, op.cit., hal 96-99)

C. Undang-Undang No 1/ Th 1974 tentang Perkawinan

Ketentuan Undang-Undang ini tentang batas usia minimal untuk menikah antara laki-laki dan perempuan tidaklah sejalan dengan prinsip non diskriminasi. Usia minimal pria dan wanita untuk bisa menikah, dibedakan. (lihat Arief Gosita, op.cit., hal 96-99)

Pada pasal 37 dan 41, Undang-Undang ini mengatur pembagian harta gono-gini. Namun, dalam praktek pengadilan, penyelesaian dari perselisihan ini tidak ditindaklanjuti dengan upaya paksa agar salah satu pihak segera melaksanakan putusan, misalnya, membagi harta bersama dengan adil, dan memberi nafkah kepada anak-anak. Biasanya penyelesaiannyapun memakan waktu yang berlarut-larut.

Pada pasal 3, Undang-Undang ini mengijinkan pria mempunyai beberapa istri. Dalam praktek, banyaklah kasus poligami yang memicu bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang dialami perempuan dan anak-anak, meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi.

Pada pasal 43, Undang-Undang ini menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya”. Padahal, setiap anak adalah anak dari kedua orang tuanya, terlepas dari apakah ia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu. Adalah hak anak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari kedua orang tuanya.

D. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pada bab XIV pasal 287(1) tentang kejahatan kesusilaan, KUHP menyatakan bahwa tindakan menyetubuhi anak berumur sampai 15 tahun merupakan delik aduan. Artinya, pelaku kejahatan baru bisa dituntut setelah ada pengaduan. Seharusnya delik ini bukan delik aduan, tetapi merupakan delik biasa, sehingga apabila tindakan menyetubuhi di lihat orang dapat langsung pelaku ditindak.

IV. HUKUM INTERNASIONAL TENTANG ANAK

Hukum internasional yang mengatur perlindungan anak adalah Konvensi Hak Anak. Konvensi ini lahir dari suatu kesadaran bahwa, sesuai kodratnya, anak adalah rentan, tergantung, lugu, dan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus. Munculnya Konvensi Hak Anak didorong oleh perubahan yang terjadi di dunia pada abad ke 19, ketika anak masih dipandang sebagai „hak milik“ orangtua. Sampai awal abad ke 20, kehidupan dan nasib anak-anak belum dipedulikan oleh masyarakat dunia. Anak masih dipandang sebagai urusan keluarga, komunitas lokal, atau negara. Syukurlah, pada tahun 1920, seorang aktivis perempuan Inggris Eglantyne Jebb mendirikan “Save the Children Internasional Union“ dan berhasil menyusun Deklarasi Hak Anak. Pada tahun 1959, Deklarasi itu disempurnakan menjadi Deklarasi Jenewa. Kemudian, Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyusun Rancangan Konvensi Hak Anak, yang disetujui pada tahun 1989, dan mulai berlaku tahun1990. Pada tahun 1990, pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak Internasional. Sejak itu, pemerintah Indonesia wajib memenuhi hak-hak semua anak Indonesia. Secara garis besar isi Konvensi Hak Anak itu dibagi menjadi 8 kelompok, antara lain hal-hal penting berikut :

A. Definisi Tentang Anak

Pada pasal 1, Konvensi Hak Anak menegaskan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali bila Undang-Undang yang berlaku bagi anak menetapkan batas awal usia dewasa yang lebih cepat.

B. Prinsip-Prinsip Umum

1. Non-diskriminatif :

Pasal 2(1) menegaskan bahwa “negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak setiap anak … tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, asal-usul bangsa, suku bangsa atau status sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran, atau status lain …” Ketentuan ini jelas-jelas menegaskan prinsip non-diskriminatif, yang menjamin kesamaan hak bagi semua anak di dunia, yang berbeda-beda latar belakangnya.

2. Yang terbaik bagi anak (the best interest of the child) :

Pasal 3(1) menegaskan bahwa “dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah/swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau legislatif, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”.(Bandingkan dengan kasus Raju! )

3. Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak :

Pasal 6 (1) menegaskan bahwa “negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak atas kehidupan”. Sedang pasal 6 (2) menegaskan bahwa “negara-negara peserta semaksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak (istilahnya : the survival and the development of the child)”.

4. Menghargai pandangan anak :

Pasal 12(1) menetapkan bahwa “negara-negara peserta akan menjamin bahwa anak-anak

yang memiliki pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan pandangan

mereka secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut

akan dihargai sesuai dengan usia dan kematangan anak”

C. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif

Pasal-pasal yang terkait adalah pasal 5, 18 (1-2), 9-11, 19-21, 25,27 (4), dan 39. Pasal-pasal ini menyangkut tanggungjawab orangtua, bimbingan orangtua, hak anak yang terpisah dari orangtuanya, hak anak untuk berkumpul kembali dengan keluarganya, pengambilalihan anak secara illegal dan anak yang terdampar di luar negeri, pemulihan pemeliharaan anak, anak yang terenggut dari lingkungan keluarganya, adopsi, peninjauan berkala atas penempatan anak, dan kekerasan serta penelantaran anak dalam keluarga.

D. Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar

Pasal 24 (1) menetapkan bahwa „negara-negara peserta mengakui hak-hak anak untuk menikmati status tertinggi yang dapat dicapai dan memperoleh sarana-sarana perawatan penyakit dan pemulihan kesehatan”.

Pasal 26 (1) menetapkan bahwa “negara-negara peserta mengakui hak setiap anak untuk memperoleh manfaat jaminan sosial, termasuk asuransi sosial…”

E. Pendidikan, Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya

Pasal 29 (1) menetapkan bahwa negara peserta akan mengarahkan „pendidikan anak pada pengembangan kepribadian anak, bakat dan kemampuan mental, fisik hingga mencapai potensi mereka yang paling penuh”.

Pasal 31 (1) menetapkan bahwa “negara peserta mengakui hak anak untuk beristirahat dan bersantai, bermain dan turut serta dalam kegiatan rekreatif yang sesuai dengan usia anak bersangkutan dan turut serta secara bebas dalam kehidupan budaya dan seni “

F. Langkah-Langkah Perlindungan Khusus

Langkah perlindungan khusus ditujukan kepada kelompok anak berikut :

a. Anak yang berada dalam keadaan darurat :

§ Pengungsi anak

§ Anak yang berada dalam konflik bersenjata

b. Anak yang mengalami konflik hukum

§ Administrasi pengadilan anak

§ Perenggutan kebebasan anak

§ Penjatuhan hukum terhadap anak

§ Pemulihan kondisi fisik dan psiko-sosial anak.

V. HUKUM NASIONAL YANG MELINDUNGI ANAK

A. Undang-Undang No 23/ Th 2002 ttg Perlindungan Anak

Undang-undang ini dibuat sebagai konsekuensi atas diratifikasinya Konvensi Hak Anak. Yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah perlindungan anak dari segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar ia dapat hidup, berkembang dan berpartisipasi secara optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, dan ini wajib dilakukan oleh semua pihak terutama orangtua. Ketentuan-ketentuan berikut kiranya perlu diperhatikan.

1. Asas perlindungan anak : (Lihat pasal 2)

· Non diskriminatif : Semua anak harus mendapat perlindungan yang sama.

· Kepentingan yang terbaik untuk anak.

· Anak punya hak asasi atas hidup, kelangsungan hidup, perkembangan hidup.

· Penghargaan terhadap pendapat anak : penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan, terutama menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.

2. Tujuan Perlindungan anak : (lihat pasal 3)

Perlindungan anak “bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi optimal sesuai harkat martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera“.

3. Hak dan Kewajiban Anak :

· Hak untuk hidup,tumbuh kembang dan berpartisipasi (ps 4)

· Hak atas identitas dan kewarganegaraan (ps 5)

· Hak beribadah sesuai agamanya, berpikir & berekspresi sesuai kecerdasannya dan usianya (ps 6, 42 & 43); (Hak atas asal usul anak (ps 7)

· Hak atas adopsi (ps 7 ayat 2)

· Hak atas pelayanan kesehatan dan jaminan okum (ps 8, 44,45,46,47,55,56)

· Hak atas pendidikan & pengembangan kepribadian termasuk anak cacat (ps 9,48,49,50,51,51,52,53,54)

· Hak berpendapat dan didengar, menerima, mencari, memberi informasi (ps 10)

· Hak istirahat dan memanfaatkan waktu luang (ps 11)

· Hak anak Cacat untuk memperoleh rehabilitasi, bantuan okum (ps 12)

· Hak perlindungan selama pengasuhan orangtua, wali atau pihak manapun (ps 13)

· Hak diasuh orangtua sendiri (ps 14)

· Hak perlindungan dari penyalahgunaan kegiatan politik, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial dsb (ps 15)

· Hak perlindungan atas penyalahgunaan lembaga peradilan (ps 16)

· Hak perlindungan berhadapan dengan hukum (ps 17 dan 18)

· Perlindungan khusus dalam situasi darurat, berhadapan dengan hukum, kel.minoritas, terksploitasi secara ekonomi, menjadi korban Narkoba & psikotropika, dsb (ps 59 s/d 71)

4. Kewajiban anak : (lihat pasal 19)

· Menghormati orangtua,wali,guru

· Mencintai keluarga, masyarakat dan sayang teman

· Cinta tanah air dan bangsa

· Beribadah sesuai agama

· Melaksanakan etika dan akhlak mulia

Perlindungan anak menjadi tanggungjawab Negara, masyarakat, keluarga dan orangtua :

· Tanggungjawab negara (ps 21 s/d 24)

· Tanggungjawab masyarakat (ps 25)

· Tanggung jawab keluarga dan orangtua (ps 26)

5. Ketentuan Pidana : (Lihat UU No 23/ Th 2003 pasal 77 s/d 90)

Semua tindakan yang dilakukan seseorang yang bertentangan dengan pemenuhan hak-hak anak adalah bentuk kejahatan/kekerasan terhadap anak, karena melawan kehendak Allah dan melanggar Undang-Undang, dan oleh karena itu dapat dipidana. Apabila pelakunya adalah orang dewasa, maka proses peradilan adalah peradilan pidana biasa, tetapi apabila pelaku adalah anak-anak, maka peradilan yang berlaku adalah peradilan anak. (lihat UU nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak)

Bentuk-bentuk kekerasan tersebut adalah :

a) Kekerasan fisik, seperti :

· Dipukul atau ditempeleng

· Ditendang

· Dijewer, dicubit

· Dilempar dengan benda keras

· Dijemur dibawah terik matahari, dan lain-lain

b) Kekerasan seksual, seperti :

· Perbuatan cabul dan persetubuhan yang dilakukan oleh orang lain

· Tindakan mendorong atau memaksa anak terlibat dalam kegiatan seksual seperti misalnya prostitusi

· Kegiatan yang menjurus pada pornografi

c) Tindakan pengabaian dan penelantaran, seperti :

· Pengabaian terhadap kesehatan anak

· Pengabaian dan penelantaran pendidikan anak

· Pengabaian pengembanagan emosi

· Penelantaran pada pemenuhan gizi

· Penelantaran dan pengabaian pada penyediaan perumahan

· Pengabaian pada kondisi keamanan dan kenyamanan

d) Kekerasan emosional, seperti :

· Kata-kata yang mengancam

· Menakut-nakuti

· Perlakuan diskriminatif

· Membatasi kegiatan sosial anak dan kreasi anak

e) Kekerasan ekonomi, seperti :

· Menyuruh bekerja secara berlebihan

· Menjerumuskan ke dunia prostitusi untuk kepentingan ekonomi

· Menyuruh mencari nafkah

· Mempekerjakan anak di bawah umur

B. Undang-Undang Nomor 23/ Tahun 2004

Undang-Undang ini menyangkut Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Dalam Undang-Undang ini termuat pula masalah perlindungan anak.

Pasal 1 butir 1 : Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Menurut pasal ini, maka anak termasuk obyek beberapa karena anak berada dalam keluarga.

Pasal 1 butir 2 : Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan

dalam rumah tangga. (Lihat juga PP nomor 4/2006 tentang Penyelenggaraan dan kerjasama dalam Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

Pasal 1 butir 3 : Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga, termasuk di dalamnya adalah anak.

Pasal 2 : (1) Lingkup rumah tangga meliputi : suami, istri dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud di atas karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap

dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. (2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud di atas dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Dari pasal-pasal tersebut di atas nampak bahwa anak mendapat perlindungan terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Perlindungan anak ini tidak harus selalu dimengerti sebagai perlindungan di dalam keluarga si anak sendiri saja, tetapi juga di dalam keluarga di mana anak berada, misalnya di tempat anak itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

C. Undang-Undang No 32/ Th 2002 tentang Penyiaran

Undang-Undang ini berisi ketentuan-ketentuan tentang penyiaran. Sejalan dengan upaya perlindungan anak dalam keluarga, maka sarana komunikasi yang masuk kedalam keluarga seperti televisi, radio dan sebagainya, menjadi daya dukung yang efektif. Namun daya dukung ini dapat menghasilkan akibat yang positif maupun negatif. Pada bagian ini sengaja dipilih sarana komunikasi televisi dan radio karena alat komunikasi inilah yang paling populer dan akrab bagi sebagian besar keluarga di Indonesia

Pasal 1 butir 3 dan 4 :

Penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.

Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.

Pasal 36 :

Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

a. Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri.

b. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

c. Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

d. Isi siaran dilarang :

· bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau

· mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

e. Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Undang-undang ini juga merupakan upaya perlindungan terhadap anak.

VI. MASALAH KELUARGA

Dalam usaha melindungi anak di tengah masyarakat, kita dihadapkan pada beberapa tantangan berikut.

A. Tantangan Dari Dalam Keluarga

1. Cara hidup keluarga :

Seluruh dimensi yang ada dalam keluarga, bersama-sama, secara langsung atau tidak langsung, disadari atau tidak, menciptakan suatu sistem, gaya hidup, atau cara hidup tertentu dalam keluarga. Tiap keluarga biasanya mengembangkan cara hidup kekeluargaan yang unik, karena masing-masing pribadi dalam keluarga mengembangkan cara tertentu dalam menghadapi kenyataan. Demikian pula hubungan antara anggota keluarga. Hubungan yang tidak harmonis dalam satu keluarga dapat mem-posisikan anak pada kondisi tidak berdaya. Keadaan ini mengakibatkan keluarga kehilangan fungsinya, sehingga anak terpaksa mencari tempat lain, untuk memenuhi tuntutan tumbuh kembang mereka. Sebaliknya, hubungan yang baikpun berpengaruh pada anak.

2. Membesarkan anak dan mendidik anak sebagai pribadi :

Anak bukan sebuah barang mati. Ia adalah individu, subyek, seorang pribadi. Dalam dirinya perlu ditanamkan sikap cinta, persaudaraan, dan iman. Bagi anak, perlu ada pembentukan pribadi, lewat pengembangan tanggungjawab, sikap hidu bermoral, kemurnian, pergaulan yang sehat, dan kedewasaan dalam iman. Ini fase terpanjang dan penting, yang ikut menentukan tercapainya tujuan keluarga.

3. Mitos keluarga :

Ada mitos yang berkaitan dengan seksualitas, yang kira-kiranya berbunyi : „Pendidikan hidup seksual itu tidak perlu, karena pada saatnya anak akan tahu sendiri. Begitu pula hidup keluarga tidak perlu dipersiapkan, karena pada saatnya kedua mempelai akan tahu sendiri, apa artinya menjadi suami dan istri. Asalkan ada hubungan seksual yang baik, pasti juga akan ada perkawinan yang baik”. ( Lihat Mardi Prasetyo SJ, Psikologi Hidup Rohani 2, Kanisius)

4. Kemiskinan dalam keluarga :

Kemiskinan merupakan faktor yang hamper selalu muncul pada setiap masalah sosial dalam masyarakat. Selanjutnya, dari kemiskinan, muncul berbagai problem sosial, sebagai akibat dari “efek domino” kemiskinan itu. Dari kemiskinan timbullah rendahnya pendidikan dan kurangnya gizi pada anak, maupun keluarnya anak dari sekolah sebelum ia lulus darinya. Berbagai masalah itu saling mempengaruhi, maka tidak mungkin diselesaikan secara parsial atau sepotong-potong.

B. Tantangan Dari Luar Keluarga

Tak dapat dihindari lagi bahwa tiap keluarga hidup dalam dunia dan masyarakat, yang terus berubah dan selalu memberikan tawaran-tawaran tertentu. Di bawah ini adalah beberapa tantangan yang, tidak bisa tidak, akan berpengaruh pada kondisi perkembangan anak :

1. Modernisasi dan sistem komunikasi modern :

Pertanyaan yang penting untuk diajukan adalah : “Apakah anak dapat siap, mandiri dan kreatif dengan sains dan teknologi modern ?” Menurut Romo Drost , “bagi kaum muda, modernisasi tak lain dan tak bukan hanyalah hal teknis yang dapat dinikmati penggunaannya, sehingga (mereka) membutuhkan bimbingan agar tidak terjerumus ke hal-hal negatif.“ (Lihat J.Drost SJ ”Menjadi Pribadi Dewasa dan Mandiri” ed.Willie Koen; Kanisius, 1993; hal.14)


2. Kemiskinan struktural :

Struktur masyarakat dewasa ini semakin memiskinkan keluarga golongan bawah dan memperkaya keluarga golongan menengah ke atas. Sementara itu, banyaklah keluarga yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan, sampai kehilangan orientasi nilai. Banyaklah orangtua yang bekerja keras, sehingga anak-anak terlantar. Pendidikan cinta kasih, tanggungjawab, kedewasaan dan iman, terlantar juga. Situasi miskin yang didukung oleh sistem ini juga mengakibatkan terhambatnya pemenuhan kebutuhan atau hak-hak anak.

3. Pengaruh pergaulan di luar rumah :

Anak-anak dewasa ini tumbuh di belantara sistem dan nilai, dan tidak selalu dapat mengambil keputusan yang tepat, untuk mengikuti yang baik dan menolak yang buruk. Teman-teman sebaya seringkali menjadi figur idola bagi mereka. Mereka melihat teman-teman mereka sebagai orang yang lebih hebat daripada orangtua mereka.

C. Masalah-Masalah Konkrit

Masalah keluarga memiliki banyak dimensi dan ragam. Di bawah ini adalah beberapa masalah, yang memiliki pengaruh besar terhadap upaya perlindungan anak :

1. Masalah Sosial budaya :

a. Keluarga dalam transformasi sosial :

Proses transformasi sosial sebagai dampak dari modernisasi yang semakin mengglobal telah memunculkan liberalisasi. Liberalisasi itu, misalnya, mendorong banyak keluarga untuk semakin berperan sebagai unit produksi, ekonomi, cenderung bersifat materialistis, individualistis, dan hedonis. Dalam keadaan demikian, tidaklah mengheranan bila banyak anak/remaja jatuh pada situasi tersebut..

b. Keluarga dan sistem nilai :

Dalam proses transformasi sosial yang sedang berlangsung ini, sistem nilai yang baru belumlah mapan. Satu kaki sudah melangkah maju ke depan (modern), tetapi satu kaki yang lain masih berada di belakang (tradisional agraris). Belum ada kejelasan, mana yang akan digunakan sebagai pegangan untuk tetap eksis di masyarakat. Robert Merton (seperti dibahas dalam buku Prof.Dr.I.S.Susanto SH, Kriminologi) menyebut kondisi itu „kondisi anomi“ atau kondisi tanpa norma. Dalam kondisi demikian, bahtera keluarga terombang-ambing, tidak punya pegangan yang jelas. Bahkan, kalaupun sudah ada nilai yang dipegang, nilai itupun belum tentu baik dan cocok demi kelangsungan hidup berkeluarga. „Kondisi anomi“ ini berpengaruh pada perilaku anak dan pada pola hubungan antara orangtua dan anak. (Menurut Merton, dalam skala luas yakni masyarakat, “kondisi anome” itu dapat mendorong orang-orang berperilaku menyimpang. Lihat Paulus Hadisuprapto, Juvenille Delinkuensi, Semarang: Citra Aditya Bhakti, hal 22)

c. Otoritas dan wibawa keluarga :

Keadaan anomie atau tanpa norma yang menyebabkan keluarga tak punya pegangan kuat di dalam dan menjadi bulan-bulanan pengaruh luar, orangtua dapat kehilangan “bensin” pembakar kehidupan dan tak mampu lagi mengarahkan anak secara kualitatif. Barangkali orangtua masih dapat membekali anak dengan sedikit materi, tetapi tidak mampu lagi untuk membentuk pribadi anak.

Kemampuan anak yang lebih tinggi daripada orangtuanya, membuat orangtua kehilangan “pamor” dan wibawa untuk menyampaikan pesan moral, pesan iman dan etika hidup.

d. Proses internalisasi keluarga masa kini :

Dalam bukunya tentang “komunitas”, J.Venier menulis :

“ Tempo dulu, manusia hidup dalam kelompok-kelompok homogen, semua lahir kurang lebih dari keluarga yang sama, dan memiliki akar yang sama. Dalam kelompok ini, dalam satu suku, di kampung-kampung, mereka menggunakan bahasa yang sama dan tradisi yang sama pula, mereka memiliki cara hidup yang sama dan menerima otoritas yang sama… Di antara orang-orang dari kelompok yang sama, terdapat kesatuan yang berakar dalam rahasia terdalam bawah sadar. Zaman telah berubah. Masyarakat modern telah lahir dari disintegritas kelompok-kelompok yang kurang lebih alamiah atau familiar. Mereka yang sekarang hidup di lokal yang sama tidak lagi merupakan bagian dari suatu kelompok homogen. Kota-kota, dan juga desa, terbentuk dari figur-figur yang tidak saling kenal. Masing-masing menutup diri di antara tembok rumahnya masing-masing karena takut….Keadaan seperti ini melahirkan kesepian yang kadang tak terpikulkan. Keluarga, karena dipersempit pada batas-batas pasangan suami-istri dan anak-anak, tidak mampu memenuhi kebutuhan esensiil ini…” ( Lihat Salib dan penyembuhan, Adolpho Lippi, Kanisius).

Bagaimana keluarga di Indonesia ? Bahkan mengenai eksistensi keluarga pernah ada yang menulis “Keluarga : Bahtera yang telah karam ?” Ya, bisa jadi apabila keluarga sudah tak mampu lagi menciptakan peradaban cinta, yang menghasilkan individu-individu pecinta yang ulung.

Internalisasi nilai dan gambaran gambaran tentang keluarga dan kehidupan secara perlahan semakin didasarkan pada budaya sekuler melalui perkembangan teknologi (televisi,internet,telpon genggam, dll), sehingga keluarga yang diidealkan mampu menjadi oase di padang gurun globalisasi atau menjadi suatu minoritas mistik di tengah arus sekulerisme hanya menjadi sebuah angan-angan belaka. (Istilah minoritas mistik diperkenalkan oleh Mgr.I.Suharyo dalam penutupan sidang DKP KAS pada bulan Juli 2006)

e. Kemiskinan ala globalisasi kultural :

Selain kemiskinan materi, globalisasi kultural menciptakan bentuk-bentuk kemiskinan baru yakni miskin pengetahuan dan miskin akses mendapat ilmu pengetahuan yang semakin memarjinalkan keluarga-keluarga miskin.(Paus Yohanes Paulus II menyebutnya bukan miskin karena “tidak punya” tetapi karena tidak tahu. Lihat Sidang Pleno Keluarga Asia, KWI, April 2006, hal 19)

Suatu hal penting untuk layak kita renungkan barangkali adalah “Seberapa besar minat anak atau remaja akan pengetahuan ? Bagaimana minat baca anak atau pelajar dan mahasiswa ? Mereka lebih tertarik dengan iklan-iklankah ? Dengan gaya hidup konsumerisme ? Budaya instant ? dan masih banyak pertanyaan yang bernada pesimis terhadap generasi penerus dan institusi keluarga.


VII. PENUTUP

A. Strategi Integral Perlindungan Anak

Perlindungan Anak adalah tanggung jawab Negara, masyarakat, keluarga(orangtua), oleh karena itu penanggulangannya akan membutuhkan suatu keterpaduan (integralitas) antara Negara, masyarakat dan keluarga (orangtua). Di bawah ini disajikan kerangka perlindung

perlindungan anak yang melibatkan berbagai kebijaka yakni kebijakan kriminal, kebijakan sosial dan kebijakan kesejahteraan anak (Lihat Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency,Citra Aditya Bhakti, 1997, hlm. 77)




Kebijakan sosial atau politik sosial adalah suatu upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Upaya ini diarahkan secara khusus untuk mencapai perlindungan anak. Langkah-langkah yang diambil yakni melalui Kebijakan Kesejahteraan Anak dan Kebijakan Perlindungan Anak. Dalam rangka kesejahteraan sosial , terutama yang diarahkan pada kesejahteraan dan perlindungan anak, kiranya perlu diperhatikan poin-poin berikut :

· Pemberdayaan sosial ekonomi keluarga kecil, lemah miskin & tersingkir baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan

· Memberantas dan mencegah kemiskinan struktural

· Penyadaran kepada masyarakat akan Anak & hak-haknya (termasuk lembaga terkait khususnya dalam penyelenggaraan Akta Kelahiran, ruang bermain anak, dan berbagai fasilitas yang dibutuhkan anak)

· Penyadaran kepada pengusaha & pihak-pihak yang bekerja dengan anak.

· Penyadaran kepada kalangan media untuk turut membantu proses internalisasi nilai yang sehat bagi pertumbuhan mental, fisik dan spiritual bagi masyarakat pada umumnya dan anak pada khususnya.

· Pemberantasan buta huruf dan penggalakkan gemar membaca dengan ditindaklanjuti pendirian perpustakaan yang layak di desa-desa yang kurang memiliki akses untuk mendapat informasi

Kebijakan kriminal di sini diartikan dalam artinya yang paling luas, yakni keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. (Lihat: Barda Nawawi Arief SH, Kebijakan Kriminal, UNDIP: hal 1)

Konsekuensi Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anakmelalui Kepres 36/ 1990 tertanggal 25 Agustus 1990 maka dalam rangka kebijakan kriminal yang diarahkan pada kesejahteraan anak ini, Indonesia perlu mengkaji ulang secara komprehensif sejumlah peraturan hukum nasional yang merugikan anak. Pembentukan Peraturan perundangan yang sesuai jiwa Konvensi Hak Anak. Misalnya pembentukan peraturan yang mengatur sektor pekerja rumah tangga, mengingat bahwa di lapangan tidak sedikit anak-anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Pada sarana penal berarti bekerjanya institusi peradilan untuk menegakkan norma hukum yang berlaku, namun perlu juga dikaji ulang peraturan yang kurang berdaya menghadapi situasi dan kondisi yang terus berubah. Sedangkan Kebijakan Kriminal pada sarana non penal lebih bersifat pencegahan untuk terjadinya kejahatan.

B. Pastoral Keluarga

Melalui “politik keluarga”(gagasan politik keluarga ini kami adopsi dari istilah politik sosial dan kriminal, dalam konteks keluarga kami menggunakannya sebagai suatu strategi dalam berpastoral keluarga) yang menawarkan ajaran-ajaran sosial gereja , pastoral keluarga menjadi bagian integral dalam pola perlindungan anak sebagaimana skema di atas. Maka kami menawarkan skema baru sebagai berikut :




Rounded Rectangle: PREVENTIVE










“Politik Brayat Minulyo“ adalah suatu usaha rasional secara terus-menerus untuk mencapai dan memelihara sebuah keluarga dengan basis nilai-nilai kristiani, yang dimulai dari tahap : Masa PraNikah Nikah; Masa Persiapan Perkawinan; Sejak pernikahan sampai anak-anak menjadi dewasa dan mandiri.

Yang bersifat preventif dimaksud untuk melakukan tindakan pencegahan. Hal yang bersifat pokok adalah pendidikan nilai dalam keluarga, pemberdayaan ekonomi rumah tangga dan kesadaran hukum dalam keluarga, misalnya sosialisasi UU Anak, dll. Langkah preventif ini menempati posisi kunci dan strategis dalam upaya perlindungan anak dalam keluarga. Oleh karena itu, pada skema no.2 di atas, sifat preventif ini berada pada posisi di depan sifat represif. Pada langkah ini dapat dilibatkan para professional maupun awam yang memiliki semangat melayani dan peduli terhadap masa depan anak.

Terkait dengan sifat represif, “politik keluarga” dalam arti sempit berupa tindakan melalui jalur hukum yang berlaku terhadap sebuah keluarga yang terkena masalah sedemikian rupa ( UU Kekerasan dalam RT, UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak) dilakukan oleh lembaga yang berkompeten, misalnya Kelompok Kerja Bantuan Hukum, dan sebagainya.

Langkah kuratif merupakan tindakan berkelanjutan dari upaya represif. Berupa konseling psikologi setelah mengalami trauma kekerasan dalam rumah tangga misalnya. Lembaga yang berkompeten bisa melibatkan beberapa unsur seperti rohaniwan, psikolog, aktivis perempuan untuk keadilan gender, dan sebagainya.

Dengan demikian tampak pada skema no.2 di atas, bahwa “politik” keluarga tersebut merupakan suatu bagian integral dari upaya kesejahteraan sosial sebagaimana cita-cita Gereja dalam membangun dunia. Bahkan boleh dikatakan bahwa sebagai bagian integral dalam mewujudkan kesejahteraan sosial, ia bukan hanya menjadi “garam” dunia tetapi lebih dari itu, ia adalah “bumbu” kehidupan dengan aroma dan rasa keTuhanan, kemanusiaan dan keadilan sosial.

Lampiran : Sekilas tentang KKBH

Sejarah :

KKBH (Kelompok Kerja Bantuan Hukum) adalah sebuah lembaga Advokasi dan bantuan hukum yang memberikan pelayanan kepada masyarakat khususnya masyarakat kecil, dan telah berkarya selama 14 tahun (6 Juni 1992).

Karya KKBH dilandasi pada sebuah kebutuhan bahwa di tengah masyarakat banyak orang yang mengalami keterbatasan akan akses hukum, sehingga mereka sering terjebak pada ketidakberdayaan dalam menyelesaikan masalah.

KKBH memberikan pelayanan hukum terhadap permasalahan antara lain :

  1. Tanah
  2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
  3. Buruh
  4. Anak
  5. Niaga
  6. Pidana dan kasus-kasus hukum yang lain

Bentuk Pelayanan :

Kelompok Kerja Bantuan Hukum memberikan pelayanan berupa :

  • LITIGASI

Pelayanan bagi mereka yang mengalami permasalahan hukum berupa pendampingan hingga proses peradilan.

  • NON LITIGASI

Pelayanan dalam bentuk :

    • Konsultasi Hukum dan Pendampingan
    • Penyuluhan Hukum
    • Pemberdayaan Masyarakat

Tim Pelayanan :

Empat orang praktisi hukum (Advokat) yang bergabung dalam pelayanan Advokasi KKBH :

  1. Caecilia Isti Sumiwi,SH (Koordinator)

2. Veronika Widijati,SH (Anggota)

3 Chatarina Rusmiyati,SH (Anggota)

4. Augustinus Agusman,SH (Anggota)

Tempat & Waktu Pelayanan :

Kantor Pelayanan : Jl. Imam Bonjol 172 Semarang telp./fax : (024) 3551686 email : kkbh@telkom.net

Waktu : Hari Senin s/d Jum’at (kecuali hari Libur)

Pk. 09.00-15.00 Wib

2 comments:

Dee FSM said...
This comment has been removed by the author.
Dee FSM said...

Senang membaca tulisan anda, semoga upaya memperjuangkan hak-hak anak, sungguh-sungguh dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dan seluruh lapisan masyarakat. Salam Damai, Tuhan Yesus memberkati.